Anak Jalanan diantara Pemda Dan Polri

Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 yang hingga kini masih terus berlanjut, dan bergeser pada krisis mental dan moral dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat. Dampak krisis ekonomi telah merebah pada krisis politik dan hukum dan semakin diperparah dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama pada kalangan masyarakat lemah ke bawah.

Kesulitan ekonomi baik akibat dari krisis ekonomi, krisis dunia yang dirasakan masyarakat yang berakibat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran yang disertai sulitnya peluang kesempatan berusaha dan peluang kesempatan kerja baru, memberikan konsekwensi logis yang mengakibatkan meningkatnya angka kemiskinan dan kerawanan sosial dalam masyarakat. Indikasi kerawanan sosial diantaranya ditandai dengan meningkatnya pengangguran, kriminalitas, serta bertambahnya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), seperti anak terlantar, anak nakal, tuna susila, pengemis, gelandangan, keluarga fakir miskin dan anak jalanan, yang pada gilirannya akan berdampak kepada timbulnya kriminalitas atau gangguan Kamtibmas.

Dari sekian banyak kerawanan sosial, yang identik dengan kemiskinan yang akhir-akhir ini perkembangannya mendapat sorotan publik adalah keberadaan Anak Jalanan. Munculnya masalah anak jalanan yang dapat kita jumpai hampir disetiap penjuru kota bukan lagi merupakan suatu fenomena baru karena hal tersebut seiring dengan terjadinya krisis ekonomi. Orang tua anak-anak ini kalaupun masih hidup, mereka sudah tidak berdaya bahkan tidak mampu lagi dalam membiayai dan membesarkan anak-anaknya secara wajar, karena mereka sendiri harus berjuang melawan kemiskinan. Situasi demikian menyebabkan anak-anak jalanan tumbuh dengan penuh keterbatasan dibanding dengan anak-anak biasa lainnya.

Pengaruh lingkungan dunia jalanan yang keras sehingga berdampak kepada kecenderungan perilaku negative, memberikan ekses terhadap perkembangan pembentukan perilaku dan mental mereka yang kalau dibiarkan akan sulit dirubah. Konsekuensinya akan memberikan dampak polemik terhadap terhambatnya proses pembangunan dan meningkatnya kerawanan sosial. Anak jalanan dengan segala implikasi dan aspek yang ditimbulkannya akan membawa dampak buruk, baik terhadap anak jalanan itu sendiri maupun terhadap masyarakat secara umum. Kerawanan anak yang mengarah kepada perilaku anti sosial ditandai dengan adanya indikasi tindakan yang berperilaku menyimpang dari norma hukum, agama dan etika, seperti; pemaksaan, pemerasan, dan tindakan kriminal lainnya.

Menurut Herry Johanes dan Tom Campbell, yang dimaksud dengan anak jalanan ialah : (1) “Anak yang menghasilkan waktunya dijalan baik bekerja maupun tidak bekerja mempunyai ikatan maupun tidak mempunyai tidak mempunyai ikatan dengan keluarganya dan mempunyai strategi untuk mempertahankan hidupnya.” (Herry Johanes) (2) “Pekerja informal karena mereka sebenarnya dijalanan tetapi tidak cukup dilihat dari aspek pekerjaan bahkan pada beberapa anak jalanan bekerja bukan hal mutlak bagi mereka persoalan sebenarnya bukan bekerja atau tidak melainkan bagaiman harus survive.” (Tom Campbell, 1994 : 45).
Sebenarnya kegiatan mereka dijalanan bertentangan/melanggar pasal 504 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : Pasal 504: (1) Barang siapa minta-minta (mengemis) ditempat umum dihukum karena minta-minta, dengan kurungan selama-lamanya enam minggu; (2) Minta-minta yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing umurnya lebih dari 16 tahun , dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan. (1) gan ini kelihatannya sedikit janggal dalam masyarakat Indonesia yang biasa berzakat memberi pada orang fakir miskin. Larangan ini seolah-olah a sosial, akan tetapi bukan itu yang dimaksud. Pasal ini bukan melarang kepada orang miskin yang “minta pertolongan”, akan tetapi melarang melakukan perbuatan itu ditempat umum, misalnya di pasar, station, ditepi jalan dsb., karena perbuatan itu selain dapat mengganggu pada orang-orang yang sedang berpergian, pun dilihat kurang pantas dan amat memalukan. Jika datang dirumah orang untuk memintanya, tidak dikenakan pasal ini, asal tidak kelihatan dari jalan umum. (2) “Minta-minta atau mengemis” = dapat dilakukan dengan meminta secara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik.
“Menjual” lagu-lagu dengan jalan menyanyi main biola, gitar, angklung, seruling, musik dsb, menyodorkan permainannya sepanjang toko-toko dan rumah-rumah yang biasa dilakukan dikota-kota besar, dapat masuk dalam pengertian “mengemis”. (R. Soesilo,1976:283)
Menurut Arif Gosita SH, dikatakan bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya (Arif Gosita, 1983:53). Bismar Siregar SH, menyebutkan aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (Yuridis) anak belum dibebani kewajiban (Bismar Siregar, 1986 : 3).
Mr. H. de Bie merumuskan kinderrecht (Aspek Hukum Anak) sebagai keseluruhan ketentuan hukum yang mengenai perlindungan, bimbingan dan peradilan anak/remaja seperti yang diatur dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksanaannya (de Bie, 1949 : 7). (Kinderrecht van omschreven worden als het geheel van regelen betneffende de bescherming, de leiding en de berechting van jeugdige personen, zoals dat neergegeld is in het Burgerlijk Wetboek de wet Boeken van Burgerlijk Rechts Vordering, van Strafrecht, en van Strafvordering en de ondercheiden koningklijk Besluiten ter uitvoering daar van).
Menurut Prof. Mr. J.E. Doek dan Mr. H. MA. Drewes memberi pengertian jengdrechtI (=jukum (perlindungan anak muda) dalam 2 (dua) pengertian masing-masing pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas : segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang (J.E. Doek, 1984 : 11) Dalam pengertian sempit : meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam :Ketentuan Hukum Perdata (regels van civiel recht) Ketentuan Hukum Pidana (regels van Strafrecht) (Aspek Hukum Perlindungan Anak, 1990: 15-16)

Ketentuan Hukum Acara (procesrechtelijke regels)Yang menarik, istilah “kejahatan seksual” itu justru dipakai oleh para pakar baik dalam media massa maupun dalam pertemuan ilmiah lainnya, dalam konteks yang lebih luas. Dalam arti, mereka tidak melihatnya sebagai masalah pelanggaran hukum semata. Meskipun telah lama persoalan pelacuran – dan akhir-akhir ini tambah lagi dengan munculnya masalah perkosaan dan pelecehan seksual – telah menjadi perhatian banyak pihak, namun pembahasan-pembahasan yang melihat kejahatan seksual sebagai suatu konstruksi sosial belum banyak dilakukan dan dibahas secara mendalam.

Setidaknya hal ini berpengaruh pula terhadap pengambil keputusan dalam melihat persoalan-persoalan kejahatan seksual ini. Seperti yang dikatakan Carol Smart, seorang kriminolog yang banyak memberikan perhatian terhadap masalah-masalah perempuan, jika kejahatan seksual ini gagal dilihat sebagai problema sosial, maka yang akan terjadi adalah terjadinya “a moral panic” (Gregory dalam stevi jackson, 1993:316)

Akibat yang lebih jauh, jika masalah kejahatan seksual ini ditilik dengan cara pandang yang sempit, maka hak-hak perempuan yang ada di dalamnya akan terabaikan. Ini berarti bahwa penderitaan yang dialami kaum perempuan tetap tidak terjangkau oleh hukum dan tidak terpecahkan secara sosial. Hal ini, sebagaiman yang adapat dilihat dalam hukum, sampai atasi masalah pemukulan terhadap istri (masalah kekerasan dalam keluarga, domestic violence).

Sexual harrasment sendiri diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi dan David Gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai imposition of unwelcome sexual demands or thecreation of sexually offensive environments ( Rhode, 1993: 231). Pelecehan seksual bisa dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, laki-laki terhadap laki-laki atau perempuan terhadap perempuan. Yang jelas, menurut Title VI dari Civil Rights Act, 1964 di Amerika, hanya menghukum pelecehan seksual yang terjadi pada pekerja dan pelajar/mahasiswa.

Polri dan Pemda
Dalam penanggulangan anak jalan di Tingkat Kota/kabupaten maka yang lebih berperan dilaksankan oleh Pemda baik Kodya maupun kabupaten. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 27 ayat (1) hurup c dan e, yaitu ; Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; Hurup e : Menaati dan menegakan seluruh per-aturan perundang-undangan;
Pasal 148. Ayat (1) : Untuk membantu kepada daerah dalam menegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masya-rakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Ayat (2) : Pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 149 ayat (2). Ayat (2) : Penyidikan dan penuntutan terhadap pelang-garan atas ketentuan Perda dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adapun Polri sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 1 butir 5 menyebutkan bahwa kemanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terse-lenggaranya proses Pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional, yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi dalam bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Pasal 3 ayat (1) disebutkan pengemban fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : (1) Kepolisian Khusus. (2) Penyidik pegawai Negeri Sipil dan / atau,Bentuk-bentuk pengamanan subsidiaritas. Pasal 42 ayat (2) menyebutkan bahwa hubungan kerja sama didalam negeri dilakukan terutama dengan unsure-unsur Pemerintah Daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHP, dimana dalam pasal 6 ayat (1)b dan pasal 7 (2) disebutkan bahwa PPNS mempunyai kewenangan sesuai dengan Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan penyidik Polri.

Koordinasi, Dalam rangka menghasilan Perda yang berkualitas dan mampu menampung aspirasi masyarakat serta tidak menimbulkan pertentangan dengan aturan hukum formal yang ada, maka Polri harus berperan aktif bertindak sebagai koordinator atas nama Pemerintah Daerah, sekaligus mampu mengakomodir lembaga/pihak yang berkompeten (PN, Kejaksaan).

Selaku Korwas PPNS, Polri melakukan inventarisir permasalahan yang berkaitan dengan Perda yang akan dibuat/disusun. Dalam hal ini dimaksudkan agar Perda yang dihasilkan dapat dilaksanakan oleh PPNS Pemda/Sat Pol PP tanpa menimbulkan masalah dikemudian hari dengan kata lain masyarakat sebagai obyek tidak dirugikan dan kepentingan daerah tercapai. Secara keseluruhan kegiatan yang dilaksanakan dimulai dari penyusunan, sosialisasi dan pelaksanaan termasuk dukungan anggaran dicantumkan/dimaksudkan kedalam nota kesepakatan, yang dapat dijadikan pedoman/pegangan bagi pelaskanaan penegakan peraturan daerah.

Penegakan Hukum Perda.


Dalam rangka menegakkan peraturan daerah, unsur utama sebagai pelaksana di lapangan adalah Pemerintah daerah dalam hal ini kewenangan tersebut diemban oleh Sat Pol Pamong Praja yang didalamnya terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sudah dididik, dilatih serta memiliki surat keputusan sebagai penyidik, selanjutnya dalam setiap pelaksanaannya harus dikoordinasikan dahulu dengan pihak Polri, untuk menghindari timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari tindakan represif dari penegakan peraturan daerah dalam kegiatan tersebut harus didampingi oleh petugas Polri yang memadai. Setiap tindakan represif yang akan dilaksanakan oleh Sat Pol PP harus dilengkapi dengan administrasi yang cukup khususnya yang berhubungan dengan penyitaan, penyegelan, penangkapan (bila ada), sehingga tidak menimbulkan akibat hukum yang merugikan Pemerintah Daerah.

Dalam hal penegakan/peraturan daerah Polri bertindak sebagai Korwas PPNS memberikan bantuan teknis baik dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh PPNS Pemda/Sat Pol PP guna terwujudnya pelayanan, perlindungan dan penegakan hukum sesuai dengan tuntutan masyarakat (supremasi hukum)



2 Komentar

Lebih baru Lebih lama