Jalurberita.com – Pengaruh lingkungan strategik baik global, regional maupun nasional terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengalami perubahan yang cukup pesat, berbagai perubahan terjadi dengan cepat baik politik, ekonomi maupun sosial budaya. Seperti pada umumnya setiap perubahan yang positif pasti ada perubahan yang negatif. Munculnya berbagai dampak negatif, karena sebagai masyarakat salah menerima dari makna perubahan itu sebagaimana kita lihat tentang arti kebebasan dalam demokrasi, berbagai elemen masyarakat kita masih mabuk dengan euphoria reformasi dan menganggap demokrasi adalah Kebebasan tak terbatas.
Pemilu merupakan hajat demokrasi rakyat Indonesia, merupakan wahana berdemokrasi dalam rangka mencari pemimpin bangsa yang akan duduk sebagai anggota MPR. DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, bupati dan walikota. Namun dalam pelaksanaannya sering menimbulkan potensi konflik baik konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah maupun konflik horisontal antara masyarakat dengan masyarakat.
Baik pilkada maupun maupun pemilukada, hingga kini media massa, publik, dan elite parpol daerah tampaknya lebih akrab menyebut agenda politik tersebut dengan istilah ”pilkada” --akronim dari pemilihan kepala daerah - ketimbang istilah ”pemilukada” --akronim dari pemilihan umum kepala daerah-- yang mulai dikenalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Banyak orang mengaku asing dengan istilah ”pemilukada”.
Pilkada dan pemilukada adalah dua agenda politik lokal yang masing-masing berkiblat pada rezim yang berbeda. Pilkada merujuk pada rezim pemerintah daerah (pemda), sedangkan pemilukada mengacu pada rezim pemilu. Memang dalam UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Bab VII B tentang Pemilu, tidak ditemukan satu kali pun istilah pemilukada. Pemilu, sebagaimana disebutkan pada Ayat (2) Pasal 22 E UUD 1945, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres, serta DPRD.
Istilah pemilukada baru dapat ditemukan pada UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ini dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (4) yang berbunyi ”Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendeknya, berdasarkan UU tersebut, pilgub/pilbup/pilwalkot merupakan bagian dari pemilu eksekutif --selain pemilu presiden-- yang wewenang penyelenggaraannya berada di tangan KPU.
Regulasi untuk memilih gubernur/bupati/wali kota memang tak dijabarkan secara rinci dalam UU 22/2007. Lagi pula regulasi yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan pilgub/pilbup/pilwalkot selama ini adalah UU No. 32/2004 tentang Pemda sebagaimana telah diubah dengan UU 12/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP 49/2008. Namun istilah yang muncul dalam regulasi tersebut bukanlah pemilukada, tetapi pilkada.
Untuk mengawal jalannya demokrasi itu di bebankan kepada Polri yang diberi kewenangan menurut UU no 2 tahun 2002 sebagai fungsi pemerintahan dibidang Kamtibmas, Penegakkan Hukum, Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan kepada masyarakat, berkewajiban untuk mengamankan jalanya pemilu sehingga potensi konflik dapat tereleminir dan pemilukada dapat berjalan sesuai dengan amanat undang-undang.
Konflik menurut Prof.Dr.Fachry Ali adalah suatu perbedaan perbedaan yang tidak pernah bisa diselesaikan secara sempurna dan sesuatu yang melekat dalam perikehidupan suatu bangsa dikarenakan adanya perbedaan asasi sebagai proses kelembagaan yang berkaitan dengan kekuasaan. Hal senada juga dilontarkan Prof.Dr.Adrianus Meliana dalam penanganan konflik memerlukan Manajemen resolusi konflik berupa resolusi konflik antara lain: Displacing, mengalihkan konflik yang terjadi didalam masyarakat, Dialoguing, menahan konflik tetap pada level yang bisa dimusyawarahkan. Upraising, membawa konflik pada pihak yang dianggap lebih tinggi dan lebih adil untuk diselesaikan secara adil. Formalizing, membiarkan konflik diambil-alih oleh pihak resmi. Localizing, menahan konflik untuk tetap focus, tidak diaktifkan atau mengaikan dengan berbagai hal lain.
Ditinjau dari penggolongan maka konflik dapat dibagi menjadi 2 (dua) ; konflik secara horizontal dan konflik secara vertikal. Konflik secara horizontal yaitu antara warga dengan warga, sementara konflik secara vertical yaitu antara warga dengan pemerintah. Dalam menangani Konflik horisontal yang terjadi antar warga dengan warga sangat perlu di selesaikan, salah satunya dengan menggunakan metode manajemen resolusi konflik dalam bentuk Formalizing.
Adapun Bentuk-bentuk yang dapat berpotensi menjadi kerawanan dan berbagai pelanggaran yang akan timbul pada penyelenggaraan Pemilu, antara lain :
a). Dalam Tahap Pemutakhiran data dan Penetapan Daftar Pemilih.Tahap pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih saat ini berpotensi kerawanan karena kemungkinan ada warga yang tidak terdaptar pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai pemilih melakukan protes dengan cara anarki. Dalam tahap ini sering terjadi kesalahan dalam pendaan dan masih menjadi penyebab kurang profesionalnya KPU dalam melaksanakan tugasnya. B) Pencalonan, Tahap pengusungan bakal calon oleh partai hingga pencalonan yang dilakukan oleh KPUD saat ini menyimpan potensi rawan keamanan.
Pengusungan oleh partai memungkinkan adanya ketidakpuasaan dari kubu bakal calon yang tidak di usung oleh partai karena dalam pengusungan ini ada keterlibatan pimpinan partai di tingkat propinsi dan pusat. Pada saat bakal calon yang ditetapkan oleh partai berbeda dengan keinginan grassroot partai, maka kemungkinan protes dari anggota partai terhadap partainya bisa terjadi. Demikian pula pada saat ada bakal calon yang diusung oleh salah satu partai tidak bisa ditetapkan sebagai calon oleh KPUD, maka kemungkinan protes partai terjadi yang membakar emosi anggota partainya.
c) Tahap Kampanye, Kampanye merupakan ajang untuk mengajak dan mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon. Tahap kampanye saat ini merupakan titik yang paling rawan terutama kampanye yang melibatkan masa dalam jumlah yang banyak. Kerawanan bisa terjadi akibat kelompok pendukung masing-masing calon bertemu saling ejek sehingga menyulut emosi pihak lain. Kerawanan juga bisa terjadi akibat kampanye hitam (black campaigh) yang dilakukan oleh satu calon atau pendukungnya kepada calon lain yang menyebabkan yang lain tersinggung dan bereaksi dengan menggerakkan masa pendukungnya untuk membalas dengan tindakan anarki. d) Pemungutan Suara, Hari pemungutan suara saat ini sering terjadi kerawanan akibat suatu kelompok memaksa kelompok pendukung lain untuk memilih calonnya dengan cara melakukan pemaksaan atau menghalang-halangi pihak lain pendukung saingannya untuk tidak melakukan pencoblosan. Hari pemungutan suara rawan pula terjadinya money politik dengan cara salah satu pihak calon memberikan uang atau barang kepada pemilih untuk memilih calon yang didukungnya.
e) Penetapan hasil Pemilihan., Penetapan hasil pemilu oleh KPUD saat ini sering memancing kerawanan akibat calon yang dinyatakan kalah tidak menerima kekalahannya dengan melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertiban. Para pendukung calon yang kalah tidak menerima kekalahan dan melakukan protes dengan berbagai cara yang mengudang kerawanan keamanan bahkan melakukan pelanggaran hukum dengan mengerahka massa dengan alasan ”banyak simpatisan yang tidak terdaptar pada DPT” f) Pelantikan, pada tahap pelantikan berpontensi terjadinya kerawanan dalam rangka menggagalkan pelantikan karena calon yang tidak jadi baik balon DPR,MPR,DPD dan presiden beserta wakil presiden. Biasanya para pendukung calon tidak terpilih akan berupaya menggagalkan acara pelantikan kepala daerah atau walikota.
Jika terjadi konflik dalam penyelenggaraan Pemilukada, maka penanganan paling tepat melalui manajemen resolusi konflik dalam bentuk Formalizing, atau membiarkan konflik diambil-alih oleh pihak resmi; misal membawa sengketa ke pengadilan. Bentuk ini paling aman untuk menjaga demokrasi yang sedang berjalan sehingga tidak ada kambing hitam, dengan cara a) Mediasi, dalam melaksanakan tugasnya harus bersikap netral dengan tidak adanya kepentingan diantara pihak yang bertikai, b) Arbitrase, harus mampu menengahi suatu permasalahan dengan harapan dan tujuan terpeliharanya kamtibmas selama Pemilukada. C) Alternative Dispute Resolution, semampunya mendamaikan ke dua belah pihak yang bermasalah dengan memberikan alternative pemecahan masalah, d) Family Conference, penyelesaian konflik dengan kekeluargaan, e) Minitrial, melakukan penegakan hukum ditempat jika terdapat pelanggaran. F) Rent-A-Judge, diselesaikan dengan jalur penyelesaian permasalahan di sidang pengadilan dan g) Principled Bargaining, Menerapkan prinsip terjadinya rasa keadilan antara kedua belah pihak yang bermasalah.
gambar inset google, versi pdf
Pemilu merupakan hajat demokrasi rakyat Indonesia, merupakan wahana berdemokrasi dalam rangka mencari pemimpin bangsa yang akan duduk sebagai anggota MPR. DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, bupati dan walikota. Namun dalam pelaksanaannya sering menimbulkan potensi konflik baik konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah maupun konflik horisontal antara masyarakat dengan masyarakat.
Baik pilkada maupun maupun pemilukada, hingga kini media massa, publik, dan elite parpol daerah tampaknya lebih akrab menyebut agenda politik tersebut dengan istilah ”pilkada” --akronim dari pemilihan kepala daerah - ketimbang istilah ”pemilukada” --akronim dari pemilihan umum kepala daerah-- yang mulai dikenalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Banyak orang mengaku asing dengan istilah ”pemilukada”.
Pilkada dan pemilukada adalah dua agenda politik lokal yang masing-masing berkiblat pada rezim yang berbeda. Pilkada merujuk pada rezim pemerintah daerah (pemda), sedangkan pemilukada mengacu pada rezim pemilu. Memang dalam UUD 1945 hasil amandemen, khususnya Bab VII B tentang Pemilu, tidak ditemukan satu kali pun istilah pemilukada. Pemilu, sebagaimana disebutkan pada Ayat (2) Pasal 22 E UUD 1945, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres, serta DPRD.
Istilah pemilukada baru dapat ditemukan pada UU 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Ini dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat (4) yang berbunyi ”Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendeknya, berdasarkan UU tersebut, pilgub/pilbup/pilwalkot merupakan bagian dari pemilu eksekutif --selain pemilu presiden-- yang wewenang penyelenggaraannya berada di tangan KPU.
Regulasi untuk memilih gubernur/bupati/wali kota memang tak dijabarkan secara rinci dalam UU 22/2007. Lagi pula regulasi yang menjadi rujukan bagi penyelenggaraan pilgub/pilbup/pilwalkot selama ini adalah UU No. 32/2004 tentang Pemda sebagaimana telah diubah dengan UU 12/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana telah diubah dengan PP 49/2008. Namun istilah yang muncul dalam regulasi tersebut bukanlah pemilukada, tetapi pilkada.
Untuk mengawal jalannya demokrasi itu di bebankan kepada Polri yang diberi kewenangan menurut UU no 2 tahun 2002 sebagai fungsi pemerintahan dibidang Kamtibmas, Penegakkan Hukum, Perlindungan, Pengayoman dan Pelayanan kepada masyarakat, berkewajiban untuk mengamankan jalanya pemilu sehingga potensi konflik dapat tereleminir dan pemilukada dapat berjalan sesuai dengan amanat undang-undang.
Konflik menurut Prof.Dr.Fachry Ali adalah suatu perbedaan perbedaan yang tidak pernah bisa diselesaikan secara sempurna dan sesuatu yang melekat dalam perikehidupan suatu bangsa dikarenakan adanya perbedaan asasi sebagai proses kelembagaan yang berkaitan dengan kekuasaan. Hal senada juga dilontarkan Prof.Dr.Adrianus Meliana dalam penanganan konflik memerlukan Manajemen resolusi konflik berupa resolusi konflik antara lain: Displacing, mengalihkan konflik yang terjadi didalam masyarakat, Dialoguing, menahan konflik tetap pada level yang bisa dimusyawarahkan. Upraising, membawa konflik pada pihak yang dianggap lebih tinggi dan lebih adil untuk diselesaikan secara adil. Formalizing, membiarkan konflik diambil-alih oleh pihak resmi. Localizing, menahan konflik untuk tetap focus, tidak diaktifkan atau mengaikan dengan berbagai hal lain.
Ditinjau dari penggolongan maka konflik dapat dibagi menjadi 2 (dua) ; konflik secara horizontal dan konflik secara vertikal. Konflik secara horizontal yaitu antara warga dengan warga, sementara konflik secara vertical yaitu antara warga dengan pemerintah. Dalam menangani Konflik horisontal yang terjadi antar warga dengan warga sangat perlu di selesaikan, salah satunya dengan menggunakan metode manajemen resolusi konflik dalam bentuk Formalizing.
Adapun Bentuk-bentuk yang dapat berpotensi menjadi kerawanan dan berbagai pelanggaran yang akan timbul pada penyelenggaraan Pemilu, antara lain :
a). Dalam Tahap Pemutakhiran data dan Penetapan Daftar Pemilih.Tahap pemutakhiran data dan penetapan daftar pemilih saat ini berpotensi kerawanan karena kemungkinan ada warga yang tidak terdaptar pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai pemilih melakukan protes dengan cara anarki. Dalam tahap ini sering terjadi kesalahan dalam pendaan dan masih menjadi penyebab kurang profesionalnya KPU dalam melaksanakan tugasnya. B) Pencalonan, Tahap pengusungan bakal calon oleh partai hingga pencalonan yang dilakukan oleh KPUD saat ini menyimpan potensi rawan keamanan.
Pengusungan oleh partai memungkinkan adanya ketidakpuasaan dari kubu bakal calon yang tidak di usung oleh partai karena dalam pengusungan ini ada keterlibatan pimpinan partai di tingkat propinsi dan pusat. Pada saat bakal calon yang ditetapkan oleh partai berbeda dengan keinginan grassroot partai, maka kemungkinan protes dari anggota partai terhadap partainya bisa terjadi. Demikian pula pada saat ada bakal calon yang diusung oleh salah satu partai tidak bisa ditetapkan sebagai calon oleh KPUD, maka kemungkinan protes partai terjadi yang membakar emosi anggota partainya.
c) Tahap Kampanye, Kampanye merupakan ajang untuk mengajak dan mempengaruhi masyarakat untuk memilih calon. Tahap kampanye saat ini merupakan titik yang paling rawan terutama kampanye yang melibatkan masa dalam jumlah yang banyak. Kerawanan bisa terjadi akibat kelompok pendukung masing-masing calon bertemu saling ejek sehingga menyulut emosi pihak lain. Kerawanan juga bisa terjadi akibat kampanye hitam (black campaigh) yang dilakukan oleh satu calon atau pendukungnya kepada calon lain yang menyebabkan yang lain tersinggung dan bereaksi dengan menggerakkan masa pendukungnya untuk membalas dengan tindakan anarki. d) Pemungutan Suara, Hari pemungutan suara saat ini sering terjadi kerawanan akibat suatu kelompok memaksa kelompok pendukung lain untuk memilih calonnya dengan cara melakukan pemaksaan atau menghalang-halangi pihak lain pendukung saingannya untuk tidak melakukan pencoblosan. Hari pemungutan suara rawan pula terjadinya money politik dengan cara salah satu pihak calon memberikan uang atau barang kepada pemilih untuk memilih calon yang didukungnya.
e) Penetapan hasil Pemilihan., Penetapan hasil pemilu oleh KPUD saat ini sering memancing kerawanan akibat calon yang dinyatakan kalah tidak menerima kekalahannya dengan melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan dan ketertiban. Para pendukung calon yang kalah tidak menerima kekalahan dan melakukan protes dengan berbagai cara yang mengudang kerawanan keamanan bahkan melakukan pelanggaran hukum dengan mengerahka massa dengan alasan ”banyak simpatisan yang tidak terdaptar pada DPT” f) Pelantikan, pada tahap pelantikan berpontensi terjadinya kerawanan dalam rangka menggagalkan pelantikan karena calon yang tidak jadi baik balon DPR,MPR,DPD dan presiden beserta wakil presiden. Biasanya para pendukung calon tidak terpilih akan berupaya menggagalkan acara pelantikan kepala daerah atau walikota.
Jika terjadi konflik dalam penyelenggaraan Pemilukada, maka penanganan paling tepat melalui manajemen resolusi konflik dalam bentuk Formalizing, atau membiarkan konflik diambil-alih oleh pihak resmi; misal membawa sengketa ke pengadilan. Bentuk ini paling aman untuk menjaga demokrasi yang sedang berjalan sehingga tidak ada kambing hitam, dengan cara a) Mediasi, dalam melaksanakan tugasnya harus bersikap netral dengan tidak adanya kepentingan diantara pihak yang bertikai, b) Arbitrase, harus mampu menengahi suatu permasalahan dengan harapan dan tujuan terpeliharanya kamtibmas selama Pemilukada. C) Alternative Dispute Resolution, semampunya mendamaikan ke dua belah pihak yang bermasalah dengan memberikan alternative pemecahan masalah, d) Family Conference, penyelesaian konflik dengan kekeluargaan, e) Minitrial, melakukan penegakan hukum ditempat jika terdapat pelanggaran. F) Rent-A-Judge, diselesaikan dengan jalur penyelesaian permasalahan di sidang pengadilan dan g) Principled Bargaining, Menerapkan prinsip terjadinya rasa keadilan antara kedua belah pihak yang bermasalah.
gambar inset google, versi pdf