Jalurberita – Menurut Gatot Suparmono, SH, dalam Hukum Narkoba Indonesia, yang diterbitkan oleh PT. Djambatan, Narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat-obatan adiktif yang terlarang.(2001;3). Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 22 tahun 1997, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan dimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan. (Eugenia Liliawati Muljono, SH, CN; 1998 : 4)
Sedangkan obat-obatan adiktif diartikan sebagai zat atau obat yang dapat menimbulkan ketergantungan dan atau kecanduan bagi pemakainya. Dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang No.5 tahun 1997 tentang psikotropika disebutkan, bahwa psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. (Eugenia Liliawati Muljono,SH,CN; 1998 : 182).
Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 22 tahun 1997, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan dimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan, yaitu : a) Jenis Heroin : Thailand, Laos, Myanmar, Iran, Pakistan dan Afganistan. b) Jenis Kokain : Amerika Latin. C) Jenis Psikotropika : China, Belanda. D) Jenis Ganja : Indonesia (NAD). e) Sedangkan jenis Narkoba yang berasal dari Indonesia (dalam negeri) adalah tanaman ganja dari Aceh (NAD).
Indonesia juga tidak luput dari sasaran perdagangan dan peredaran gelap Narkoba oleh jaringan sindikat/kartel kejahatan Narkoba tersebut. Sarana pengawasan yang belum dapat menjangkau seluruh wilayah geografi Indonesia yang demikian luas, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan negara terluas di Asia Tenggara sangat terbuka kesempatan untuk jalur perdagangan dan peredaran gelap Narkoba. Contoh masih banyak ditemukan pabrik-pabrik pembuat narkoba di Indonesia khususnya di Jakarta.
Dengan perkembangan yang terjadi maka sangat diperlukan keterpaduan unsur dari Polri, Jaksa, Hakim dan Lembaga pemasyarakatan serta Advokat yang merupakan sub-sistem dari Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System (CJS) dalam mencegah maraknya peredaraan narkoba, dengan menindak tegas setiap pelaku maupun pengguna narkoba sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan menghilangkan berbagai bentuk mafia peradilan. Dengan latar belakang tersebut diatas maka yang menjadi persoalannya adalah penegakkan hukum yang terpadu dapat menindak/menghukum lebih banyak pelaku kejahatan narkoba, sehingga diharapkan penyalahgunaan narkoba dapat diminimalisir secara maksimal.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba telah berkembang sangat cepat di Indonesia, bahkan telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat dari kota-kota besar sampai ke pelosok-pelosok desa dan yang menjadi korban adalah mulai dari anak-anak, pemuda, remaja dan orang dewasa, baik dari golongan kaya, menengah dan miskin. Hal ini sudah sangat merisaukan kehidupan keluarga dan masyarakat yang pada gilirannya dapat berdampak bagi terganggunya kepentingan nasional, ketahanan nasional maupun pembangunan nasional.
Tindak pidana yang berhubungan dengan Narkoba termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus, menggunakan UU no 22 dan no 5 tahun 1997 tentang Narkotika dan Psikotropika.
Penegakan hukum adalah hal fundamental bagi sebuah pemerintahan, karena tanpa penegakan hukum maka akan ada efek domino dari sebuah perilaku dalam masyarakat (moral hazard), di mana orang-orang akan terus mencoba menerobos atau melanggar hukum tanpa ketakutan akan tertangkap atau dihukum. Hukum mempunyai posisi yang sangat strategis didalam konstelasi ketatanegaraan dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), dalam pasal 1 ayat (3) dinyatakan secara tegas bahwa ”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, Konsekuensi logis sebagai negara hukum tentu harus mampu mewujudkan supremasi hukum sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum. Oleh karena itu ada lembaga peradilan yang disebut Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau Criminal Justice System (CJS), yang terdiri dari Kepolisian, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan sekarang ditambah Advokat.
Sebagaimana teori Peran Negara yaitu teori segi tiga dan teori segi empat, ke semua lembaga tersebut harus bekerja secara terpadu. Karena pada hakekatnya tujuan dari penegakkan hukum yang dilakukan dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah : a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan. c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulanginya .
Berdasarkan teori tentang keterpaduan ada tiga teori yang di bahas yaitu teori “aliran” menyatakan bahwa jumlah pelaku kejahatan yang ada dimasyarakat yang berhasil ditangani oleh SPP/CJS dari sejak di Kepolisian sampai pada Lembaga Pemasyarakatan, jumlah yang ada di Lembaga pemasyarakatan belum menggambarkan kejahatan yang sebenarnya artinya bahwa sebagian pelaku kejahatan yang tidak masuk kelembaga pemasyarakatan kembali kemasyarakat atau dapat dikatakan bahwa kejahatan yang terjadi di masyarakat sebenarya lebih besar dari pada yang mampu diselesaikan oleh SPP. Oleh karena itu untuk memaksimalkan kinerja dari pada SPP secara terpaduan didalam mewujudkan tujuan dari SPP itu sendiri, sebagaimana dijelaskan pada teori “linear” yaitu dimana setiap sub-sistem pada Sistem Peradilan Pidana mempunyai tujuan masing-masing tetapi tujuan dari SPP adalah yang harus menjadi prioritas utama, bisa digambarkan bahwa ( T > dari jumlah t1+t2+t3+t4) . Dimana T merupakan tujuan SPP dan t1 sampai dengan t2 adalah tujuan dari masing-masing sub-sistem yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana.
Dengan keterpaduan tersebut diatas diharapkan Sistem Peradilan Pidana yang ada pada masing –masing KOD mampu bekerja secara maksimal, kinerja maksimal tersebut bisa dilihat dengan hasil putusan-putusan yang ada pada peradilan, apakah dapat memenuhi rasa keadilan atau tidak, bila memenuhi rasa keadilan lebih dominan maka akan lebih banyak pelaku kejahatan khususnya narkoba yang dimasukkan kedalam lembaga pemasyarakatan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa para pelaku kejahatan narkoba adalah mereka yang mempunyai jaringan sangat terorganisir dan mempunyai banyak dana, dengan demikian akan sangat mudah untuk mempengaruhi sub-sistem dalam SPP. Seperti yang tergambar dalam teori “bejanaberhubungan” dinyatakan bahwa setiap kelemahan ataupun kesulitan ( pelanggaran etika profesi) akan menjalar kesemua sub-sistem, artinya bahwa apabila sub-sistem dalam system peradilan pidana melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran etika profesi yang ada pada lingkungannya maka penegakkan hukum sebagaimana yang menjadi tujuan dari SPP itu sendiri akan mengalami hambatan, dengan demikian akan banyak pelaku kejahatan khususnya narkoba yang tetap berkeliaran dimasyarakat. Untuk itu keterpaduan semua sub-sistem dalam SPP menjadi kunci utama keberhasilan dalam penegakkan hukum.
Metode pencegahan dan pemberantasan narkoba yang paling mendasar dan efektif adalah promotif dam preventif. Upaya yang paling praktis dan nyata adalah represif. Upaya manusiawi adalah kuratif dan rehabilitatif.
Promotif disebut juga program preemtif atau program pembinaan. Program ini ditujukan kepada masyarakat yang belum memakai narkoba, atau bahkan belum mengenal narkoba. Prinsipnya adalah dengan meningkatkan peranan atau kegiatan agar kelompok ini secara nyata lebih sejahtera sehingga tidak pernah berpikir untuk memperoleh kebahagiaan semua dengan memakai narkoba.
Preventif disebut juga program pencegahan. Program ini ditujukan kepada masyarakat sehat yang belum mengenal narkoba agar mengetahui seluk beluk narkoba sehingga tidak tertarik untuk menyalahgunakannya. Selain dilakukan oleh pemerintah (instansi terkait), program ini juga sangat efektif jika dibantu oleh instansi dan institusi lain, termasuk lembaga profesional terkait, lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, ormas dan lain-lain.
Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada pemakai narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati pemakai narkoba. Pemakaian narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari narkoba secara khusus.
Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak yang gagal. Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga dan penderita.
Rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asosial. Dan penyakit-penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifilis dan lain-lain). Dan Represif Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. gambar inset google versi FDP