Jalurberita.com – Polri menampilkan perilaku militeristis di Bima, Nusa Tenggara Barat. Kita sebut militeristis karena Polri menghadapi rakyat yang berunjuk rasa di Pelabuhan Sape, Bima, NTB, seperti militer yang menghadapi musuh di medan pertempuran. Polisi mengepung, menyerang, dan menembaki rakyat yang memprotes izin bupati atas usaha pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara dan PT Indo Mineral Persada yang mencemari sumber air di lingkungan mereka.
Akibat serangan polisi pada pagi buta Sabtu (24/12) itu, menurut versi DPRD Bima, empat pengunjuk rasa tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Betul para pengunjuk rasa yang memblokade Pelabuhan Sape telah mengganggu ketertiban di fasilitas publik. Namun, rakyat melakukan itu karena frustrasi setelah melihat Bupati Bima lebih berpihak kepada perusahaan daripada rakyat.
Unjuk rasa masyarakat hingga memblokade pelabuhan juga menunjukkan intelijen Polri gagal mengidentifikasi dan mengantisipasi situasi. Ketika rakyat akhirnya memblokade pelabuhan, Polri dan Bupati ternyata tak piawai bernegosiasi meminta rakyat mengakhiri blokade itu.Rakyat menolak bernegosiasi karena melihat dalam banyak kasus konflik semacam itu, Polri dan pemerintah daerah lebih berpihak kepada pemodal ketimbang rakyat. Bima berdarah tak akan terjadi andai sejak awal pemerintah daerah berpihak kepada rakyat.
Apalagi, jauh sebelum tragedi Bima meletus, Komnas HAM telah merekomendasikan kepada Kapolda NTB Brigjen Arief Wachyunandi dan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen untuk berdialog lebih serius dengan masyarakat. Namun, kapolda dan bupati mengabaikannya. Malapetaka Bima menunjukkan Polri gagal menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Itu sama saja Polri telah melecehkan dan mengangkangi konstitusi.
Siapa pun yang melanggar hukum dan undang-undang harus ditindak. Oleh karena itu, anggota Polri yang terlibat dan bertanggung jawab atas kekerasan di Bima harus diseret ke muka hukum. Jangan sampai cuma rakyat pengunjuk rasa yang dibawa ke meja hijau, tetapi anggota Polri yang memukuli dan menembaki pengunjuk rasa dibiarkan bebas. Jangan sampai pula, yang diseret ke muka hukum hanya anggota Polri di lapangan, sedangkan pemegang tongkat komando dibiarkan melenggang.
Tragedi Bima menambah panjang daftar perilaku militeristis polisi. Sebelumnya, perilaku yang sama diperlihatkan polisi dalam pembantaian di Mesuji. Kita jadi bertanya-tanya, apakah perilaku militeristis merupakan perilaku asli Polri? Lalu, mengapa setelah 13 tahun ditarik keluar dari militer, perilaku Polri tetap militeristis? Ke depan Polri harus menampilkan perilaku ramah. Jika tetap berperilaku militeristis, lebih baik Polri dikembalikan ke dalam angkatan bersenjata seperti di masa Orde Baru.http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/12/286992/70/13/Polri-yang-Militeristis
Peran Informasi Polmas dalam Mengantisipasi Ujuk Rasa Anarkis
Sejatinya kegiatan berkumpul mampu menciptakan demokrasi yang saling menguntungkan sesui dengan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, berupa (a) mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat; (c) mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; (d) menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Namun perkembangan kegiatan berkumpul sering diwarnai dengan adanya gangguan atau menghilangkan hak orang lain dengan terganggunya arus lalu lintas, berkurangnya rasa aman masyarakat berupa timbulnya kekhawatiran, kegelisahan, dan yang paling ditakutkan terjadinya tindakan anarkhis berupa perusakan pasilitas umum, pertokoan, pembakaran, pembunuhan dan lainya yang pada giliranya akan berdampak terganggunya perekonomian.
Sebetulnya kegiatan unjuk rasa telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan Polri sesuai dengan Pasal 13, berkewajiban (2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. (3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dan masyarakat yang akan melakukan unjuk rasa berkewajiban diberitahukan secara tertulis kepada Polri, Pasal l0 (1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan. pemimpin, alau penanggungjawab kelompok. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Merujuk pada pasal 10, terlihat bahwa warga masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat dimuka umum harus “aktif” memberitahukan rencana kegiatannya kepada Polri dan pemberitahuannya harus secara “resmi” diserahkan ke Polri. Yang dimaksud resmi disini adalah pemberitahuan yang ditulis tersebut diantar sendiri oleh pemimpin ataupun penanggung jawab kegiatan unjukrasa. Peraturan tersebut dimaksud untuk mempertemukan pimpinan/penanggung jawab unjukrasa dengan petugas Polri. Dengan bertemunya pemimpin/penanggung jawab unjuk rasa dengan anggota polri maka diharapkan akan muncul kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan ke dua belah pihak. Mengingat Polri mempunyai kewajiban memberitahu pihak yang menjadi sasaran aksi unjuk rasa, maka pada kesempatan bertemu dengan pimpinan/penanggung jawab aksi tersebut Polri akan berusaha menjadi penengah atau mediator bagi kedua belah pihak (pengunjuk rasa dan sasaran unjuk rasa) dengan harapan bila mencapai kesepakatan sebelum hari H maka aksi unjuk rasa tidak perlu dilakukan atau dibatalkan.
Namun melihat perkembangan aksi unjuk rasa yang terjadi di indonesia harapan yang di tuangkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum masih diperlukan sebuah proses pendewasan baik Polri maupun masyarakat sebagai subjek kegiatan. Diharapkan pula Polri dapat melakukan pengawalan secara profesional, sehingga massa yang ingin menyalurkan aspirasinya dapat berjalan dengan baik, aman dan terkendali, termasuk mendampingi dan mengarahkan massa dalam penyaluran aspirasinya. Tapi karena seringnya terjadi kesalahpahaman antara pihak kepolisian dengan pengunjuk rasa sehingga kepolisian terkadang kurang respon dengan tindakan pengunjuk rasa, disisi lain pengunjuk rasa selalu merasa dihalangi untuk menyalurkan aspirasinya kalau melihat kepolisian mendampinginya dan mengarahkannya dalam tugas pengamanan. Tentunya perlu kesepahaman antar kedua belah pihak baik pengunjuk rasa dan kepolisian harus mencari terobosan untuk menanggulangi atau mengantisipasi terjadinya unjuk rasa sehingga berjalan aman dan lancar.
Salah satu terobosan yang dilakukan Polri untuk mengantisipasi terjadinya unjuk rasa anarkhis namun tidak berbenturan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yaitu dengan melakukan deteksi dini atau tindakan fre-emtif dengan mengedepakan intelijen dengan salah satu fungsinya bertindak melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan sehingga didapatkan data yang memadai yang dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan.
Data intelijen yang memadai harus memiliki nilai informasi yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Oleh karena itu, setiap nilai informasi dapat menggambarkan tentang kondisi sasaran di lapangan yang patut menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hal utama yang perlu digaris bawahi bahwa fungsi Intelijen adalah memberikan masukan berupa informasi yang berkembang didalam masyarakat guna pengambilan keputusan pimpinan sehingga Pimpinan dalam hal ini Polres maupun Polda dapat mempersiapkan pengawalan dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya prediksi jumlah kelompok aksi unjuk rasa, karakter kelompok aksi unjuk rasa, pola penanganan yang akan dilakukan dan lainya.
Pembangunan intelejen yang berkaitan dengan unjuk rasa pada intinya membangun informasi yang berkembang didalam masyarakat sehingga informasi yang berkembang dapat di himpun dan dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan pimpinan dalam menanggulangi permasalahan yang berkembang. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dilaksanakan Polri dengan melibatkan masyakat dalam bingkat Polisi sipil, yang mana pada tahun 2012 polri sudalah masuk pada tahap kemitraan polri dan masyarakat dalam menjaga kamtibmas.
Dalam perkap tujuan (Pemolisian/ Perpolisian Masyarakat) adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, melainkan harus dilakukan bersama oleh Polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan Polisi dan warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.
Dengan adanya kemitraan antara masyarakat dan polri maka di harapkan berbagai informasi yang berkembang dapat di serap baik oleh Polri, Pemda maupun stakehorder lainya sehingga berbagai informasi yang berkembang dapat dicarikan akar permasalahan melalui proses pendekatan permasalahan Kamtibmas dan kejahatan untuk mencari pemecahan suatu permasalahan melalui upaya memahami masalah, analisis masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi yang tepat dalam rangka menciptakan rasa aman, tentram dan ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang terhadap efektifitas solusi yang dipilih. poto inset google
Akibat serangan polisi pada pagi buta Sabtu (24/12) itu, menurut versi DPRD Bima, empat pengunjuk rasa tewas dan beberapa lainnya luka-luka. Betul para pengunjuk rasa yang memblokade Pelabuhan Sape telah mengganggu ketertiban di fasilitas publik. Namun, rakyat melakukan itu karena frustrasi setelah melihat Bupati Bima lebih berpihak kepada perusahaan daripada rakyat.
Unjuk rasa masyarakat hingga memblokade pelabuhan juga menunjukkan intelijen Polri gagal mengidentifikasi dan mengantisipasi situasi. Ketika rakyat akhirnya memblokade pelabuhan, Polri dan Bupati ternyata tak piawai bernegosiasi meminta rakyat mengakhiri blokade itu.Rakyat menolak bernegosiasi karena melihat dalam banyak kasus konflik semacam itu, Polri dan pemerintah daerah lebih berpihak kepada pemodal ketimbang rakyat. Bima berdarah tak akan terjadi andai sejak awal pemerintah daerah berpihak kepada rakyat.
Apalagi, jauh sebelum tragedi Bima meletus, Komnas HAM telah merekomendasikan kepada Kapolda NTB Brigjen Arief Wachyunandi dan Bupati Bima Ferry Zulkarnaen untuk berdialog lebih serius dengan masyarakat. Namun, kapolda dan bupati mengabaikannya. Malapetaka Bima menunjukkan Polri gagal menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945. Itu sama saja Polri telah melecehkan dan mengangkangi konstitusi.
Siapa pun yang melanggar hukum dan undang-undang harus ditindak. Oleh karena itu, anggota Polri yang terlibat dan bertanggung jawab atas kekerasan di Bima harus diseret ke muka hukum. Jangan sampai cuma rakyat pengunjuk rasa yang dibawa ke meja hijau, tetapi anggota Polri yang memukuli dan menembaki pengunjuk rasa dibiarkan bebas. Jangan sampai pula, yang diseret ke muka hukum hanya anggota Polri di lapangan, sedangkan pemegang tongkat komando dibiarkan melenggang.
Tragedi Bima menambah panjang daftar perilaku militeristis polisi. Sebelumnya, perilaku yang sama diperlihatkan polisi dalam pembantaian di Mesuji. Kita jadi bertanya-tanya, apakah perilaku militeristis merupakan perilaku asli Polri? Lalu, mengapa setelah 13 tahun ditarik keluar dari militer, perilaku Polri tetap militeristis? Ke depan Polri harus menampilkan perilaku ramah. Jika tetap berperilaku militeristis, lebih baik Polri dikembalikan ke dalam angkatan bersenjata seperti di masa Orde Baru.http://www.mediaindonesia.com/read/2011/12/12/286992/70/13/Polri-yang-Militeristis
Peran Informasi Polmas dalam Mengantisipasi Ujuk Rasa Anarkis
Sejatinya kegiatan berkumpul mampu menciptakan demokrasi yang saling menguntungkan sesui dengan Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, berupa (a) mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat; (c) mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; (d) menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Namun perkembangan kegiatan berkumpul sering diwarnai dengan adanya gangguan atau menghilangkan hak orang lain dengan terganggunya arus lalu lintas, berkurangnya rasa aman masyarakat berupa timbulnya kekhawatiran, kegelisahan, dan yang paling ditakutkan terjadinya tindakan anarkhis berupa perusakan pasilitas umum, pertokoan, pembakaran, pembunuhan dan lainya yang pada giliranya akan berdampak terganggunya perekonomian.
Sebetulnya kegiatan unjuk rasa telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan Polri sesuai dengan Pasal 13, berkewajiban (2) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum. Polri bertanggungjawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum. (3) Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dan masyarakat yang akan melakukan unjuk rasa berkewajiban diberitahukan secara tertulis kepada Polri, Pasal l0 (1) Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri. (2) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh yang bersangkutan. pemimpin, alau penanggungjawab kelompok. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat ) jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. (4) Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.
Merujuk pada pasal 10, terlihat bahwa warga masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat dimuka umum harus “aktif” memberitahukan rencana kegiatannya kepada Polri dan pemberitahuannya harus secara “resmi” diserahkan ke Polri. Yang dimaksud resmi disini adalah pemberitahuan yang ditulis tersebut diantar sendiri oleh pemimpin ataupun penanggung jawab kegiatan unjukrasa. Peraturan tersebut dimaksud untuk mempertemukan pimpinan/penanggung jawab unjukrasa dengan petugas Polri. Dengan bertemunya pemimpin/penanggung jawab unjuk rasa dengan anggota polri maka diharapkan akan muncul kesepakatan-kesepakatan yang akan menguntungkan ke dua belah pihak. Mengingat Polri mempunyai kewajiban memberitahu pihak yang menjadi sasaran aksi unjuk rasa, maka pada kesempatan bertemu dengan pimpinan/penanggung jawab aksi tersebut Polri akan berusaha menjadi penengah atau mediator bagi kedua belah pihak (pengunjuk rasa dan sasaran unjuk rasa) dengan harapan bila mencapai kesepakatan sebelum hari H maka aksi unjuk rasa tidak perlu dilakukan atau dibatalkan.
Namun melihat perkembangan aksi unjuk rasa yang terjadi di indonesia harapan yang di tuangkan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum masih diperlukan sebuah proses pendewasan baik Polri maupun masyarakat sebagai subjek kegiatan. Diharapkan pula Polri dapat melakukan pengawalan secara profesional, sehingga massa yang ingin menyalurkan aspirasinya dapat berjalan dengan baik, aman dan terkendali, termasuk mendampingi dan mengarahkan massa dalam penyaluran aspirasinya. Tapi karena seringnya terjadi kesalahpahaman antara pihak kepolisian dengan pengunjuk rasa sehingga kepolisian terkadang kurang respon dengan tindakan pengunjuk rasa, disisi lain pengunjuk rasa selalu merasa dihalangi untuk menyalurkan aspirasinya kalau melihat kepolisian mendampinginya dan mengarahkannya dalam tugas pengamanan. Tentunya perlu kesepahaman antar kedua belah pihak baik pengunjuk rasa dan kepolisian harus mencari terobosan untuk menanggulangi atau mengantisipasi terjadinya unjuk rasa sehingga berjalan aman dan lancar.
Salah satu terobosan yang dilakukan Polri untuk mengantisipasi terjadinya unjuk rasa anarkhis namun tidak berbenturan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yaitu dengan melakukan deteksi dini atau tindakan fre-emtif dengan mengedepakan intelijen dengan salah satu fungsinya bertindak melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan sehingga didapatkan data yang memadai yang dapat dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan.
Data intelijen yang memadai harus memiliki nilai informasi yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Oleh karena itu, setiap nilai informasi dapat menggambarkan tentang kondisi sasaran di lapangan yang patut menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hal utama yang perlu digaris bawahi bahwa fungsi Intelijen adalah memberikan masukan berupa informasi yang berkembang didalam masyarakat guna pengambilan keputusan pimpinan sehingga Pimpinan dalam hal ini Polres maupun Polda dapat mempersiapkan pengawalan dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya prediksi jumlah kelompok aksi unjuk rasa, karakter kelompok aksi unjuk rasa, pola penanganan yang akan dilakukan dan lainya.
Pembangunan intelejen yang berkaitan dengan unjuk rasa pada intinya membangun informasi yang berkembang didalam masyarakat sehingga informasi yang berkembang dapat di himpun dan dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan pimpinan dalam menanggulangi permasalahan yang berkembang. Salah satu bentuk kemitraan yang dapat dilaksanakan Polri dengan melibatkan masyakat dalam bingkat Polisi sipil, yang mana pada tahun 2012 polri sudalah masuk pada tahap kemitraan polri dan masyarakat dalam menjaga kamtibmas.
Dalam perkap tujuan (Pemolisian/ Perpolisian Masyarakat) adalah penyelenggaraan tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, melainkan harus dilakukan bersama oleh Polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan Polisi dan warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban di lingkungannya.
Dengan adanya kemitraan antara masyarakat dan polri maka di harapkan berbagai informasi yang berkembang dapat di serap baik oleh Polri, Pemda maupun stakehorder lainya sehingga berbagai informasi yang berkembang dapat dicarikan akar permasalahan melalui proses pendekatan permasalahan Kamtibmas dan kejahatan untuk mencari pemecahan suatu permasalahan melalui upaya memahami masalah, analisis masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi yang tepat dalam rangka menciptakan rasa aman, tentram dan ketertiban (tidak hanya berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta evaluasi ulang terhadap efektifitas solusi yang dipilih. poto inset google