Jalurberita.com
- Sosok seorang teman bisa jadi semakin menarik ketika melihat dari
dimensi pertemanan dalam dunia pertemanan sejati tanpa adanya aturan
yang mengikat baik norma masyarakat ataupun norma lainya. Namun
ketika ada kepentingan, misalnya mencapai tujuan maka etika
pertemanan sering kali menjadi hambatan yang dapat menghambat ataupun
sebaliknya dapat memperlancar tujuan yang akan di capai. Teman bisa
diartikan seseorang yang mau mendengar dengan penuh simpati dan
empati terhadap lawan komunikasinya. Kemudian di setiap diskusi topik
pembicaraan dia mencoba mengomentari. Intinya, teman mampu membangun
suasana komunikasi yang hangat dan harmonis.
Namun permasalahan atau gesekan pertemanan akan muncul bila seseorang hanya melihat dari tujuan yang hendak di capai dengan mengutamakan protap ataupun aturan normatif yang berlaku, hal ini biasanya di sebut dengan “POLITIK” sehingga mampu menghilangkan pertemanan yang ada bahkan yang telah terbina dengan baik.
Menurut Plato (abad ke-4 SM) dalam bukunya Lysis, persahabatan selalu dilandasi kepentingan yang dianggap berguna bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. Sejauh dianggap berguna dan terbaik untuk saat ini maka persahabatan dilandaskan pada semacam kebaikan. Maka, di satu sisi ada macam-macam kebaikan sesuai tingkat persepsi mereka yang bersahabat dan di sisi lain sahabat selalu relatif. tanpa sinisme menyakitkan. Bagi Plato, yang memuja eros, persahabatan merupakan konstruksi relasional yang jujur, berimbang, dan tidak sepihak. Take and give terbangun dalam iklim kesadaran menyeluruh, sarat keikhlasan, dan tidak bersifat temporer. Namun, di mata Voltaire, keindahan persahabatan tersebut menjadi dongeng pengantar tidur belaka.
Dalam kehidupan nyata, ego menduduki peran dominan dalam berpikir dan bertindak manusia, sehingga lebih mudah mengenali lawan daripada mengenali bahkan menghadapi kawan. Voltaire selanjutnya mengatakan bahwa pada level terbawah, manusia membangun konstruksi relasional berupa persahabatan semata atas dorongan keinginan untuk mendapatkan kepuasan nafsu makan, minum, dan seksualitas (epithumia), yang mana kepuasan tersebut bersifat temporer. Dalam sebuah kompleks pelacuran, persahabatan dua orang lain jenis dijalin secara temporer semata untuk tujuan kenikmatan seks dan materi (uang) yang secara de facto menjadi kepentingan bersama, artinya berguna dan terbaik bagi keduanya, saat itu.
Pada hakekatnya Politik itu mengedepankan nilai-nilai luhur manusia. Hal ini berkaitan dengan politik simpatik. Artinya politik itu tidak sekedar pencitraan belaka melainkan perkara pengelolaan tata hidup bersama yang menjadikan negara itu layak huni, manusiawi dan baik. Muncul pertanyaan bagaimana kekuasaan dapat simpatik? Tentu berkaitan dengan pengabdian terhadap masyarakat dan mengedepankan prinsip demokrasi dan kebebasan manusiawi.
Politik simpatik memiliki karakter emansipatoris. Kartini adalah figur yang mendobrak kesadaran pembebasan dan keterpurukan serta ketertindasan. Ini adalah salah satu contoh dari emansipasi politik simpatik dalam sejarah bangsa kita. Kartini merupakan wanita yang berani menyoal keterpurukan eksistensinya walaupun skemanya terkesan monolog dan tampil berada dalam ketidakberdayaan. Dalam Kartini, perempuan bukanlah sosok asosiatif bukan pula jenis makhluk yang mudah diasosiasikan kepada abstraksi lain selain dirinya. Kesadaran Kartinian adalah kesadaran partisipatif dengan segala kehasiran dirinya, wajahnya, kecantikannya.
Secara umum Politik adalah diskursus. Jika demikian, tentu politik itu ada kaitannya dengan diskusi. Semua ini dibungkus dalam kemasan yang dinamakan bahasa. Sebab bahasa adalah cermin dari realitas (Wittgensteinan I). Bahasa sesungguhnya bukan sekedar alat komunikasi melainkan sebagai pencetus propaganda dan wacana. Bahasa adalah simbol sekaligus cultural capital dan hal ini nyata dalam filsafat Marxis. Negeri ini membutuhkan societas dialogal-negosiatif. Ini sesuai dengan kodrat manusia Indonesia yang mengedepankan dialog. Persahabatan merupakan kata kunci menuju negeri yang harmonis relasional. Maka diperlukan pula societas persahabatan. Aktivitas berpolitik berada dalam ranah relasional. Artinya dunia politik memerlukan perjumpaan antarmanusia. Dengan demikian akan lahir dari sendirinya apa yang dikenal dengan societas perdamaian. Damai tidak berarti tanpa konflik. Konflik memunculkan manusia yang cerdas dalam membangun rekonsiliasi. Damai berarti dinamika societas masuk dalam kreativitas dialogal dalam meraih societas kita. Hal ini muncul dari relasi aku-engkau yang dalam. Dalam societas yang beradab dimungkinkan persahabatan politik. Bangsa Indonesia memiliki banyak episode persahabatan dalam politik. Tata hidup bersama akan semakin indah jika terjadi kebersamaan di antara para sahabat.
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang pandai bernegosiasi. Negosiasi bukan sekedar perundingan. Societas negosiatif ingin mengatakan bahwa segala bentuk tirani, diktator dan intimidatif harus dicegah. Yang dikedepankan dalam negosiasi adalah persoalan bahasa yang mencetuskan kebudayaan dan bahkan struktur tatanan kebersamaan. Societas negosiaif melawan totaliter. Alpanya dialog melahirkan anarkisme. Logika anarkisme tidak mempromosikan kebenaran. Yang menang adalah yang kuat. Anarkisme adalah emblem (simbol) dari merosotnya tata hidup bersama. Manusia tidak lagi disetir oleh idealisme imaginatif tentang nilai-nilai etis. Manusia lebih merupakan makhluk yang cari menang sendiri. Dalam logika Hobbesian manusia tidak lagi sebagai social animal melainkan solitude animal. Makhluk yang sendirian sebab ia tamak akan vain glory. Mencari menang sendiri.
KEPUASAN SEJATI
Tanpa memandangnya sebagai pemikiran yang kedaluwarsa, pada hakekatnya, Plato mengajak membuka ruang perenungan terhadap tingkatan persahabatan dan kepentingan (kebaikan) relatif tersebut. Sejauh bisa dimurnikan, Plato akan menunjukkan bahwa ada kebaikan sejati yang rasional dan mendekatkan kita pada praktek hidup yang tenang, damai, dan menjanjikan kebahagiaan durable. Artinya, kita harus berani membuka ruang berpikir bahwa persahabatan dalam politik tidak boleh semata dilandasi oleh kepentingan (kepuasan) materi dan kekuasaan yang bersifat temporer serta relatif. Akan tetapi, persahabatan politik juga hendaknya mempertimbangkan harga diri (keberhargaan) yang bersifat kolektifitas kebangsaan.
Lebih baik lagi, andaikata persahabatan politik juga dibangun berlandaskan komitmen nilai. Artinya, komitmen untuk memberantas korupsi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menegakkan pluralisme konstitutif Pancasila, dihayati bukan lagi sebagai jargon politik, tetapi benar-benar dijadikan kriteria dan value dalam membangun persahabatan dalam berpolitik. Karena ketika politikus telah memutuskan diri untuk menjadi petinggi partai dan besar kemungkinan menjadi petinggi negara yang memiliki tanggung jawab besar kepada bangsa Indonesia, pada dasarnya, dirinya telah mendudukan dirinya sebagai suri teladan yang layak contoh dan menjadi materi pembelajaran bagi rakyat Indonesia. Andaikata ada kesadaran dalam benak politikus kita bahwa aku adalah contoh yang baik atau aku adalah contoh yang buruk maka pada dasarnya politikus tersebut telah menginvestasikan sebuah Indonesia yang lebih baik. Tetapi, andaikata kesadaran tersebut belumlah eksis di dalam benak politikus kita maka sebuah Indonesia yang lebih baik adalah sebuah jargon kosong,.
Pertemanan di antara partai politik di era reformasi bukan berdasar idiologi tertentu yang akan diperjuangkan untuk memakmurkan rakyat, melainkan didasarkan pada kepentingan, yaitu memenangkan seseorang menjadi bupati, walikota, gubernur dan atau bahkan presiden. Dengan siapa berteman, bukan didasarkan kesamaan idiologi atau pandangan politik, melainkan lebih sederhana, yaitu akan memenangkan siapa. Keadaan seperti itu, boleh-boleh saja terjadi, dan memang seperti itulah sekarang keadaannya yang sedang terjadi.
Akan tetapi, manakala orientasi itu berlanjut pada suasana lebih jauh, misalnya mengarah pada transaksi-transaksi, negosiasi, dan atau lainnya yang lebih pragmatis, sebenarnya tidak menguntungkan bagi bangsa ini secara keseluruhan. Kehidupan harus selalu didasarkan pada nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi dan diperjuangkan. Nilai-nilai luhur itu biasanya terumuskan dalam sebuah idiologi tertentu, dan bukan pada kepentingan sesaat yang berkadar rendah, yaitu agar sekedar meraih kemenangan misalnya. Jika pilihan terakhir itu yang terjadi, maka bangsa ini akan sulit meraih cita-citanya yang mulia, yaitu mencapai harkat dan martabatnya yang tinggi. Sebab, tinggi rendahnya sebuah bangsa, bukan sebatas diukur dari terpenuhinya kebutuhan sesaat, melainkan dari keberhasilannya menjaga nilai-nilai luhur yang selalu diperjuangkan. Wallahu a’lam.Setiap manusia normal di muka bumi ini tentu mempunyai teman atau kawan. Di setiap jenjang usia, mulai dari kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga kita berusia senja, selalu ada teman yang mengisi dan mengiringi langkah hidup kita. Bahkan ada yang turut mewarnai hitam atau putihnya lembaran hidup kita. Bukan sekadar pengaruh nilai-nilai kebaikan atau kejelekan secara umum, namun lebih khusus adalah pengaruhnya terhadap agama kita.
Betapa banyak teman yang menjadi faktor atau sebab seseorang berkubang dengan kemaksiatan, tenggelam dalam lumpur dosa ataupun kesyirikan. Sebaliknya, banyak teman yang menawarkan “angin surga” dengan menjadikan agama kita menjadi lebih baik, akhlak kita menjadi lebih mulia, yang akhirnya menjadikan kita sebagai manusia yang bermartabat.
Pertemanan Agama
Islam, sebagai agama nan sempurna yang mengatur setiap perkara dari umatnya, juga tak lengang dari adab-adab atau tuntunan dalam hal berteman. Berteman yang bukan sekadar berteman, namun dilandasi serta memiliki nilai ibadah. Jika kita bisa memilih teman yang baik lantas berteman dengan mereka secara baik pula (menurut syariat), tentu tak hanya janji pahala di akhirat, namun di dunia, kita pun juga akan menikmati manfaatnya secara langsung.
Yang namanya pertemanan tentu juga tidak seperti pertemanan dalam politik yang menakar segalanya dari kepentingan dengan menomorduakan agama. Tak sadar bahwa dia berangkat dengan mengusung jargon-jargon keislaman, namun selama hajat politik mereka belum tertunaikan, syariat pun rela dilabrak sana-sini. Tak peduli bahwa dia tengah berteman dekat dengan orang-orang kafir atau tokoh-tokoh yang lisannya acap mengumbar hujatan terhadap syariat Islam.
Di
dalam rumah tangga, kita pun mempunyai teman yang sangat dekat yakni
istri atau suami. Sebelum menentukan siapa “teman dekat” kita
ini, jauh-jauh hari Islam menuntunkan agar menjadikan agama sebagai
pertimbangan utama dalam memilihnya. Dan faktanya, banyak suami atau
istri yang menyimpang karena kuat dipengaruhi pasangan hidupnya.
Bukan hanya menyimpang dalam hal-hal yang bersifat materi namun juga
menyangkut agamanya. Dan yang seperti ini tidaklah menimpa
orang-orang biasa seperti kita, namun juga menimpa orang-orang yang
berilmu.
Maka, jangan sampai kita berteman dengan kawan-kawan yang jelek, yang pada akhirnya menetaskan kejelekan bagi kita. Lebih-lebih, kita justru mencampakkan teman-teman kita yang baik. Kalau sudah begini tak hanya kerugian di dunia yang kita tuai, namun juga kesengsaraan di akhirat kelak -kecuali Allah l memang menghendaki lain-. Karena teman-teman berikut pergaulan yang jeleklah yang akan mengatup pintu-pintu kebaikan.
Sehingga ketika kita memahami bahwa agamalah yang harus menjadi pertimbangan utama dalam hal memilih teman, maka tak selayaknya kita menawar kebaikan sementara kita masih berkawan dengan teman-teman yang buruk, baik itu ahli maksiat, yang suka berkubang dengan kebid’ahan dan kesyirikan, yang fanatik buta dengan kelompok atau partainya, dan sebagainya.
Dengan berpijak di atas agamalah, kita akan benar-benar bisa memaknai hakikat pertemanan yang sesungguhnya. Tiap orang rasanya membutuhkan teman, termasuk saya. Teman sudah normatif menjadi kebutuhan. Butuh ketika ingin mencurahkan hati, saat butuh informasi, dan berbagi rasa bahagia, dan berempati duka. Dalam kesulitan yang dialami terkadang disampaikan kepada teman. Tukar pikiran pun tak luput perlu teman. Bahkan dengan teman kita sangat menikmati gurau gelak tawa. Sebaliknya ketika teman bersedih hati, kita harus bersimpati, berempati dan mendoakannya.
Sosok seorang teman bisa jadi semakin menarik ketika dimensi pertemanan dalam dunia politik. Ketika ada kepentingan, misalnya membangun koalisi partai, teman bisa diartikan seseorang yang mau mendengar dengan penuh simpati dan empati terhadap lawan komunikasinya. Kemudian di setiap diskusi topik pembicaraan dia mencoba mengomentari. Intinya, teman mampu membangun suasana komunikasi yang hangat dan harmonis. Ada timbal balik. Lalu muncullah deal untuk berkoalisi. Namun demikian mengapa tiba-tiba saja rencana pertemanan kongsi politik bisa menjadi buyar tidak karuan?
Disinilah pertemanan politik tidak ada yang abadi. Termasuk juga permusuhan politik. Masing-masing bisa kental dan tiba-tiba saja bisa berantakan. Jadi yang bermain dalam pertemanan itu hanyalah pada konteks yang tak terduga-duga. Kalau saja pembagian kekuasaan sudah menjadi kesepakatan maka itulah kepentingan bersama. Tapi apakah kepentingan itupun bakal abadi?. No way, kata-kata pop. Kalau begitu apa unsur pokok yang menjadikan kongsi antarpartai terwujud? Yakni unsur kepentingan yang sifatnya sesaat dan bisa juga yang relatif permanen. Katakanlah selama lima tahun pemerintahan. Tapi apakah pertemanan seperti itupun juga bakal permanen seterusnya?