Jalurberita.com –
Kegiatan unjuk rasa telah diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum dengan tujuan Pasal 4, (a) mewujudkan
kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi
manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) mewujudkan
perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin
kemerdekaan menyampaikan pendapat; (c) mewujudkan iklim yang kondusif bagi
berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai
perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; (d) menempatkan
tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara,
tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
Add caption |
Unjuk rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang
atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara demonstratif di muka umum. Dari pengertian diatas menunjukan bahwa unjuk
rasa dapat juga disebut demonstrasi atau tindakan kritik sosial yang mana
tindakan tersebut diperuntukan untuk menimbulkan efek jera atau perhatian bagi
obyek yang menjadi sasaran unjuk rasa.
Samuel P. Huntington (1997 : 122) mengatakan unjuk rasa menimbulkan efek,
utamanya pada negara yang menganut sistem otoriter, yakni : Efek unjuk rasa
memperhatikan kepada pemimpin dan kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat
tentang kemampuan para pemimpin dan kelompok-kelompok di dalam masyarakat lain
dalam mengakhiri sistem otoriter dan memulai suatu sistem demokrasi.
Namun dalam implementasinya sering unjuk rasa
menimbulkan efek bawaan berupa konflik baik konflik vertikal antara masyarakat
dengan Pemerintah maupun horisontal antara masyarakat dengan masyarakat. Menurut Coser Konflik adalah “segala sesuatu interaksi yang bersifat
oposisi atau segala interaksi yang bersifat antagonistis” (1973: 13). Konflik
itu memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan
mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya dapat terbentuk dan
dipertahankan. Konflik juga mencegah suatu pembekuan sistem sosial dengan
mendesak adanya inovasi dan kreativitas. Sedangkan menurut SN Kartikasari
(2001:4) adalah hubungan antara dua fihak atau lebih yang memiliki atau merasa
memiliki sasaran yang tidak sejalan.
Secara umum konflik mempunyai dua bentuk menurut Coser diantaranya
adalah konflik dalam bentuk kolektif dan dalam bentuk individu. Konflik
kolektif adalah dimana anggota kelompok yang berkonflik mempunyai visi yang
sama sehingga jika melakukan konflik individu dipandang kurang efektif. Konflik
kolektif pada umumnya memiliki dorongan atau energi yang lebih kuat
dibandingkan dengan konflik individu. Konflik kolektif di samping jumlah orang
atau kelompok yang terlibat banyak, juga mempunyai tingkat emosi yang sangat
tinggi serta bersifat sangat rumit. Sedangkan konflik individu umumnya bersifat
informal dan seringkali tersembunyi.
Konflik dapat diklasifikasikan kedalam beberapa tipologi konflik,
diantaranya : a.Konflik menurut hubungan dengan tujuan organisasi, diantaranya
: 1)Konflik fungsional yaitu konflik yang mendukung tercapainya tujuan
organisasi dan karenanya bersifat konstruktif sehingga konflik fungsional ini
sangat dibutuhkan oleh organisasi. 2)Konflik disfungsional yaitu suatu
konflik yang menghambat tercapainya tujuan organisasi dan karenanya seringkali
bersifat destruktif. Dalam setiap organisasi pun, konflik disfungsional ini
tidak dapat dihindari maka diupayakan untuk menjadi konflik fungsional. Konflik
disfungsional akan mengarah kepada kehancuran organisasi, oleh karena itu,
berbagai penyebab munculnya konflik disfiungsional ini harus dieliminir
semaksimal mungkin.
b.Konflik menurut hubungannya dengan posisi pelaku yang berkonflik :1) Konflik vertikal yaitu konflik antar
kelas antar tingkatan seperti konflik orang kaya dengan orang miskin. 2) Konflik horizontal
yaitu konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang sekelas atau
sederajat seperti konflik antar bagian dalam perusahaan. 3) Konflik diagonal
yaitu konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke
seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan secara ekstrim.
c.Konflik menurut hubungan dengan sifat dan pelaku yang berkonflik. 1)
Konflik terbuka yaitu konflik yang diketahui oleh semua orang yang ada dalam suatu organisai atau yang diketahui
oleh seluruh masyarakat dalam suatu negara. 2) Konflik tertutup yaitu
konflik hanya diketahui oleh pihak yang terlibat saja sehingga pihak yang ada
diluar tidak tahu juga terjadi konflik. 3) Konflik laten yaitu konflik
yang sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat
ditangani secara efektif.
d. Konflik menurut hubunganya dengan waktu konflik itu terjadi,
diantaranya: 1)Konflik sesaat yaitu konflik yang terjadi sesaat dan
sementara umumnya secara spontan. 2)Konflik berkelanjutan yaitu konflik
yang terjadi secara berkelanjutan dan terus menerus. Konflik ini masih harus
melalui berbagai tahapan yang rumit dan meskipun konflik telah usai, tidak
menutup kemungkinan di kemudian hari akan muncul konflik baru yang merupakan
kelanjutan dari konflik terdahulu.
e.Konflik menurut hubungannya dengan pengendalian. Konflik ini terdiri
dari; 1)Konflik terkendali yaitu konflik dimana para pihak yang terlibat
dengan konflik dapat dengan mudah mengendalikan konflik dan konflik tersebut
selesai tidak meluas. 2)Konflik tak terkendali yaitu konflik dimana para
fihak yang terlibat dengan konflik tidak dapat dengan mudah mengendalikan
konflik dan konflik tidak selesai dan maslah pun semakin meluas.
f. Konflik menurut hubungannya sistematika konflik. Konfilk ini terdiri
dari ; 1)Konflik non sistematis yaitu konflik yang bersifat acak dimana
terjadinya secara spontanitas dan tidak ada yang mengkomando serta tidak ada
tujuan tertentu yang di targetkan. 2) Konflik sistematis yaitu konflik
yang terjadi bersifat sistemik dimana terjadinya telah direncanakan dan
diprogram secara sistematis dan ada yang mengomando serta mempunyai tujuan
tertentu yang ditargetkan. Dalam konflik ini pihak yang berkomplik melakukan
analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
g.Konflik menurut hubungan dengan konsentrasi aktivitas manusia di dalam
masyarakat. Konflik ini terdiri dari; 1) Konflik ekonomi yaitu konflik
yang disebabkan oleh adanya perebutan sumber daya ekonomi dari fihak yang
berkonflik. 2) Konflik politik yaitu konflik yang dipicu oleh adanya
kepentingan politik dari fihak yang berkonflik. 3)Konflik sosial yaitu
konflik yang disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan budaya , agama dari
fihak yang berkonfik. 4)Konflik
pertahanan yaitu konflik yang dipicu oleh perbuatan hegemoni dari fihak
yang berkonflik. (Kusnadi, 2004: 23)
Kepemimpinan dan Konflik
Ada banyak definisi yang diberikan mengenai konsep kepemimpinan. Menurut
Nielche Patric dalam bukunya The Codes of A Leader, menyebutkan bahwa
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah kelompok yang terorganisir
untuk mencapai sebuah tujuan. Definisi lain mengenai kepemimpinan adalah suatu
proses memberikan tujuan (arah yang berarti) mengumpulkan usaha, menyebabkan
kemauan untuk berusaha mencurahkan segalanya demi mencapai tujuan.
Bahwa kepemimpinan visioner adalah kepemimpinan yang selalu memiliki
kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan situasi serta piawai
dalam beradaptasi, mampu memperlakukan sumber daya organisasi secara arif dan
bijakasana serta senantiasa memperhatikan faktor efektifitas dan efisiensi
interaksi sosialnya, tidak mekanistis tetapi humanis. Pola kepemimpinan yang
baik didasarkan atas tiga sudut pandang, yakni memiliki integritas
kepribadian, kapabilitas intelektual dan akseptabilitas
lingkungan. Berdasarkan ketiga sudut pandang tersebut, seorang pemimpin
akan mampu mengembangkan pola kepemimpinan visioner, yakni kepemimpinan yang
mampu memantapkan nilai-nilai yang akan menjadi landasan berfikir bersama agar
mampu beradaptasi dengan perubahan, menginspirasi perubahan, melebur dengan
perubahan itu, menggerakkan sumber daya organisasi menuju pencapaian perubahan
yang diinginkan, serta mengarahkan roda organisasi kepada hari depan yang lebih
baik.
Pola kepemimpinan ini mengakomodasikan keberagaman karakteristik kultural
masyarakat dan memiliki pandangan jauh ke depan dengan berbasiskan pada
harmonisasi pembangunan dan pengembangan kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional (EQ). Kolaborasi harmonis
antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (ESQ) akan dapat membangun emosional yang
bermakna positif. Manakala seseorang memiliki kualitas pengendalian diri yang
cukup tinggi, maka dalam setiap komunikasi dengan pihak lain akan dimulai dengan
pancaran gelombang yang mengakibatkan komunikasi berjalan lancar dan menarik.
Hal demikian mempermudah penyampaian informasi, komunikasi dan persepsi.
Salah satu lembaga yang bertugas menyelesaikan
permasalahan unjuk rasa anarkhis sesuai dengan pasal 4
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, dinyatakan bahwa Polri
menjalankan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang hukum,
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga Polri dituntut berpegang pada
prinsip Good Govermance dan Clean Government yang bercirikan akuntabilitas,
transparansi, keterbukaan dan taat aturan hukum. Penegakan hukum adalah hal
fundamental bagi sebuah pemerintahan, karena tanpa penegakan hukum maka akan
ada efek domino dari sebuah perilaku dalam masyarakat (moral hazard), di mana
orang-orang akan terus mencoba menerobos atau melanggar hukum tanpa ketakutan
akan tertangkap atau dihukum. Hukum mempunyai posisi yang sangat strategis
didalam konstelasi ketatanegaraan dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 (UUD 1945), dalam pasal 1 ayat (3) dinyatakan secara tegas bahwa
”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, Konsekuensi logis sebagai negara hukum
tentu harus mampu mewujudkan supremasi hukum sebagai salah satu prasyarat bagi
suatu negara hukum.
Diharapkan penanganan unjuk rasa yang ditangani Polri dapat dilakukan
secara profesional oleh aparat kepolisian, sehingga massa yang ingin
menyalurkan aspirasinya dapat berjalan dengan baik, aman dan terkendali,
termasuk mendampingi dan mengarahkan massa dalam penyaluran aspirasinya. Tapi karena
seringnya terjadi kesalah pahaman antara pihak kepolisian dengan pengunjuk rasa
sehingga kepolisian terkadang kurang respon dengan tindakan pengunjuk rasa,
disisi lain pengunjuk rasa selalu merasa dihalangi untuk menyalurkan
aspirasinya kalau melihat kepolisian mendampinginya dan mengarahkannya dalam
tugas pengamanan. Tentunya perlu kesepahaman antar kedua belah pihak baik
pengunjuk rasa dan kepolisian harus mencari terobosan untuk menanggulangi atau
mengantisipasi terjadinya unjuk rasa sehingga berjalan aman dan lancar.
Salah satu terobosan yang dilakukan Polri untuk mengantisipasi terjadinya
unjuk rasa anarkhis namun tidak
berbenturan dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum yaitu dengan melakukan deteksi dini atau tindakan fre-emtif dengan
mengedepakan intelijen sehingga didapatkan data yang memadai. Data
intelijen yang memadai harus memiliki nilai informasi yang terukur dan bisa
dipertanggungjawabkan dengan baik. Oleh karena itu, setiap nilai informasi
dapat menggambarkan tentang kondisi sasaran di lapangan yang patut menjadi
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Fungsi Intelijen sebagai satuan yang
dikembangkan untuk dapat mendeteksi dini dan membuat perkiraan keadaan kedepan
dalam rangka mengantisipasi keadaan, penciptaan kondisi dan pengamanan
kebijaksanaan pimpinan. Hal utama yang perlu digaris bawahi bahwa fungsi Intelijen adalah memberikan
masukan berupa informasi yang berkembang didalam masyarakat guna pengambilan
keputusan pimpinan.
Peran
pimpinan tertinggi pada tingkat kesatuan
operasional dasar sangat strategis dan menentukan terhadap seluruh dinamika
operasional kepolisian di kesatuannya termasuk dalam upaya meningkatkan
kemampuan fungsi Intelijen sehingga dapat berguna bagi kesatuan operasional
dasar khususnya dalam mendukung pelaksanaan tugas operasional. Satuan
intelijen yang merupakan bagian integral dalam organisasi Kepolisian RI, pada
hakekatnya merupakan salah satu fungsi operasional Kepolisian yang mempunyai peran sangat
penting, sehingga sering dinyatakan sebagai mata dan telinga pimpinan. Sebagai
mata dan telinga pimpinan, maka tugas intelijen membawa peran dalam kegiatan
deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning).
MOPI (1989 : 12) menegaskan, bahwa didalam pelaksanaannya intelijen Kepolisian
memberikan dasar dan arah bagi pengembangan kebijakasanaan serta tindakan, baik
dalam rangka kegiatan operasional maupun pembinaan.
Agar dalam kegiatan deteksi dini dan peringatan dini berjalan dengan baik,
serta mampu memberikan kontribusi dalam mendukung tugas intelijen, maka
diperlukan personel yang berkualifikasi dan memiliki kemampuan intelijen. Kunarto (1999 : 49), menyebutkan didalam
lingkup pribadi digambarkan individu atau perorangan, intelijen berarti
kecerdasan yang disinonimkan dengan kepandaian, brilian, bersinar
(intelektualnya), serba tahu, berakal, orang yang menyenangkan.
Sehingga yang menjadi permasalahan dalam aksi unjuk rasa anarkhis bagaimana
personil intelejen dalam melakukan deteksi dini khususnya berkaitan dengan penyelidikan,
pengamanan dan penggalangan guna mendapatkan informasi yang berkembang untuk
diolah oleh pimpinan tertinggi polri sehingga kegiatan unjuk rasa yang akan
dilakukan tidak menimbulkan anarkhis.