Otonomi Pemerintahan Desa

Jalurberita.com - Tahun 2013 di kabupaten bandung barat dilaksanakan berbagai pesta demokrasi baik pemilihan gubernur, bupati bahkan diadakaan pemilihan Kepala desa. Seiring dengan pesta demokrasi maka muncul juga potensi konflik yang mengiringi pesta demokrasi tersebut seperti yang dilansir oleh LSM Paku Kamtibmas Atet Hendrawan. Menurutnya Potensi konflik yang terjadi dalam pesta demokrasi Pemilihan kepala desa dimulai dari pendaftaran, pada tataran ini sering adanya pengganjalaan dari pihak incumbent dengan menempatkan orang-orangnya baik yang masuk dalam kepengurusan panitian Pilkades, maupun dalam jajaran badan permusyawaratan desa sehingga proses demokrasi hanya berjalan normatif sesuai dengan aturan yang berlaku.Dalam proses penjaringan suara incumbent ataupun calon kepala desa sering menggunakaan perangkat birokrasi dari tingkat desa sampai dengan RT sehingga tercipta keberpihakaan birokrasi kepada seseorang hal ini belum dapat di cari solusinya sehingga mencederai demokrasi.

Secara umum desa merupakan  satu  kesatuan  sumber  daya  manusia  dan  pola  perilaku tradisional  yang  terwujud oleh  adanya modal  sosial  yang tertanam  dalam  sebuah kultur masyarakat tradisional. Di mana sistem pengetahuan dan budaya lokal masih menjadi dasar untuk menjalani kehidupan masyarakat di pedesaan Kehidupan masyarakat desa sekarang ini, sejauh perkembanganya semakin lama tidak dapat  kita  pisahkan  dengan  proses  jalannya  Pemerintahan  Desa.  Bahkan  saat  ini  pun pemerintahan desa sangat terkait dengan adanya isu otonomi pedesaan. Isu otonomi pedesaan ini mempunyai dampak yang begitu kompleks terhadap jalannya suatu pemerintahan desa.

Pemerintahan desa yang sudah diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1999, dijelaskan bahwa  suatu  pemerintahan  desa  ini  diharapkan  akan  mewujudkan  suatu  kemandirian pedesaan. Kemandirian tersebut juga berhubungan dengan adanya undung yang mengatur mengenai  otonomi  pedesaan,  yaitu  undang-undang  No.32  Tahun  2004.  Kemandirian pedesaan  itu  dipengaruhi  beberapa  faktor  seperti,  desentralisasi  kewenangan,  penguatan keuangan Desa, penguatan kelembagaan Desa dan kelembagaan masyarakat, kapasitas dan perangkat Desa (SDM) serta pemberdayaan masyarakat desa.

Desa menurut  R.Bintarto. (1977) adalah merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain. menurut Sutarjo Kartohadikusumo (1965) Desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri merupakan pemerintahan terendah di bawah camat. menurut William Ogburn dan MF Nimkoff Desa adalah kesatuan organisasi kehidupan sosial di dalam daerah terbatas. Menurut Paul H Landis Desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan cirri-ciri sebagai berikut : Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antra ribuan jiwa, Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuaan terhadap kebiasaan, Cara berusaha (ekonomi) aalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.

Secara tidak langsung arti  dari undang – undang mengenai  otonomi desa adalah segala sesuatu hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan kemandirian desa diberikan sepenuhnya kepada desa dalam hal ini otoritas tertinggi dikelola oleh Pemerintah Desa.
Yang  saya  lihat  dan  yang  saya  tulis  dalam  artikel  ini  adalah  dimana  adanya pergeseran modal sosial yang terjadi dalam masyarakat desa yang semakin lama berubah dengan adanya pola birokrasi pemerintahan desa. Isu otonomi desa menjadi sebuah isu yang sangat penting dalam hal ini, upaya otonomi desa ini oleh beberapa perangkat desa digunakan sebagai  ajang  untuk  meningkatkan  kesejahteraannya  sendiri.

Terlepas dari berbagai permasalahan yang terjadi dalam pestaa demokrasi namun dampak bagi masyarakat memunculkan persepektif baru dalam diri masyarakat desa. Ini ditunjukkan dengan masyarakat desa khususnya perangkat desa mengartikan otonomi desa
sama halnya dengan otonomi daerah, para pengatur kebijakan pemerintah desa dalam hal ini sudah tidak menggunakan modal sosial dalam rangka untuk mengatur kebijakannya , dan modal sosial ini sudah dikonversikan ke modal politik. Karena dalam hal ini kekuasaan
politik  sudah  mulai  masuk  kedalam  pemerintah  desa. Hal  tersebut  memang  tidak  dapat terhindarkan, karena lama kelamaan modal politik ini akan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam rangka mengambil keuntungan untuk pemerintah desa itu sendiri. Akan tetapi modal sosial tersebut juga penting di mana modal sosial ini mempunyai beberapa factor penting yang dapat menghubungkan kepentingan masyarakat tradisional.

Fungsi pemerintah desa di  sini yang paling utama ada fungsi koordinasi dan bagaimana cara mengakomodasikan antara
pejabat  yang  paling  tinggi  di  desa  sampai  ke  setiap  warga  masyarakatnya.  Namun, kepentingan ekonomi di sini menjadi hambatan dalam kehidupan sosial masyarakat desa saat ini. Kepentingan  politik menjadi  sebuah sarana untuk mengambil  keuntungan pribadi  disetiap perangkat desa.

Menurut Eko Sutoro, tidak terdapat pengertian atau difinisi tunggal atas modal sosial. Namun merujuk pada apa yang telah disampaikan oleh Coleman, ia menjelaskan tentang modal sosial ; “Modal sosial ditetapkan oleh fungsinya. Modal sosial bukan merupakan sebuah entitas (entity) tunggal tetapi berbagai macam entitas yang berbeda, dengan dua elemen bersama: terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan pelaku-pelaku tertentu dalam struktur itu. Sebagaimana bentuk modal lain, modal sosial adalah produktif, membuat mungkin  pencapaian  tujuan  tertentu  yang  di  dalam  ketiadaannya  akan  tidak  mungkin. Sebagaimana modal fisik dan modal manusia, modal sosial sama sekali tidak fungible tetapi mungkin specific untuk aktivitas tertentu. Tidak seperti bentuk modal lain, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antara para pelaku dan diantara para pelaku”

Perkembangan seringkali mengakibatkan perubahan, bahkan kadangkala perubahan atas apa yang ada sebelumnya. Demikian juga perkembangan desa, acapkali meminta setiap anggota masyarakat desa untuk bersedia merubah sikap, pandangan dan kelakuannya, agar dengan demikian  terjadilah  modernisasi dan kemajuan masyarakat.  Dalam keadaan yang demikian, tak jarang terjadi konflik baik kecil-kecilan maupun besar-besaran, pertentangan pendapat dan kelakuan di sana-sini. Konflik dapat terjadi antara lain karena perubahan itu sendiri, dapat  pula  karena  datangnya  gagasan  baru yang dapat terjadi  karena  perbedaan pendapat diantara para pemimpin di pedesaan.

Diketahui bersama bahwa kebersihasilan program pembangunan sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Secara teoritis, sumberdaya telah diklasifikasikan dalam beberapa sumber daya yang penting. Pertama Sumberdaya Alam
(Natural  Resources, disebut juga Natural Capital); Kedua, Sumberdaya Buatan (Physical Resources, disebut juga Physical Capital); Ketiga, Sumberdaya Manusia (Human Resources, disebut juga Human Capital); dan keempat Sumberdaya Sosial (Social Recources, disebutjuga Capital Sosial).

Penguatan Anggaran Desa Solusi Pemberdayaan Masyarakat
Berbicara demokrasi di pemerintahan desa maka desa bisa dikatakan minitur demokrasi yang sangat baik bila di tunjang dengan anggaran yang memadai, karena di dalam pemerintahan desa, roda organisasi dilakukan oleh pemerintah desa dengan badan permuswaratan Desa (BPD) dan elemen masyaraakaat yang frofesional dibidangnya. namun hal ini belum dalam terlaksana dengan baik karena terbentur dengan anggaran desa yang sangat minim sehingga pemerintahan desa berusaha menjalankan organisasi dengan keterbatan anngran desa.   gambar inset google.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama