Etika Polri Dalam Berinteraksi dengan Masyarakat


Jalurberita.com - Perkembangan peran Polri dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, telah melewati beberapa periode yang memberikan “warna” dalam sistim pemerintahan dan cukup berpengaruh terhadap eksistensi Polri dengan segala atribut dan perilakunya. Perubahan tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap bentuk organisasi dan manajemennya, tetapi juga berpengaruh terhadap sikap, perilaku para penyandang jabatan dalam mengaplikasikan tugas pokok, fungsi dan peran Polri sesuai dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 pasal 34 ayat (1) bahwa anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian  Bhayangkara Negara seutuhnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih dijumpai adanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya, hal ini dapat kita lihat dan ketahui melalui pemberitaan media masa baik cetak maupun telivisi, yang secara objektif disatu sisi memang menunjukan dan menggambarkan keberhasilan Polri dalam memelihara dan mewujudkan ketertiban (Order maintenance), penegakan hukum (Law enforcement) dan pelayanan masyarakat (Public service), namun disisi lain apa yang kita lihat dan saksikan tersebut masih adanya hal-hal yang sebenarnya secara etika dan moral tidak boleh dilakukan oleh anggota Polri yaitu penggunaan kekuatan / kekerasan yang melebihi dari ancaman yang dihadapi dilapangan.

Memposisikan dirinya sebagai bagian dari “masyarakat sipil”, menurut Sutjipto Rahardjo (2002) menjelaskan bahwa Polisi sipil berarti menuntut Polisi untuk memposisikan dirinya sebagai bagian dari “masyarakat sipil”, yang  berarti harus mampu menjaga jarak dengan karakter rezim yang otoritarian, agar tidak dimanfaatkan sebagai “alat represi” politik guna membela status quo kekuasaan.  Polisi adalah sekedar “a civilian in uniform”. Sebagai ”orang sipil” maka ia haruslah ”berkarakter sipil”.

Memahami tentang hal tersebut di atas, Polri berusaha keras memperbaiki diri dengan mengambil langkah-langkah reformasi menuju Polri yang bermoral, profesional, modern dan mandiri dengan melakukan pembenahan berkelanjutan pada tataran struktural, instrumental dan kultural. Pada aspek Kultural Polri telah melakukan pembenahan manajemen sumber daya manusia khususnya pada aspek sikap dan perilaku anggota Polri, baik di lingkungan kerja maupun lingkungan sosial lainnya, yang mana hal ini dapat dilihat dari internalisasi dalam penegakan kode etik profesi.

Etika Profesi Polri
Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat / kultur. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.

Profesi Kepolisian adalah profesi yang berkaitan dengan tugas kepolisian baik dibidang operasional maupun dibidang pembinaan sebagaimana dimaksud dalam  Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesi sebagai pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum.

Perilaku yang menjunjung tinggi nilai etika dan moral bisa dinyatakan dalam pernyataan "do unto others as you would have them do unto you" (Bennett, 1996). Pernyataan ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan sangat konservatif karena mengandung unsur nilai kejujuran (honesty), integritas dan konsern dengan hak serta kebutuhan orang lain; tetapi sangat tepat untuk dijadikan sebagai "juklak-juknis" didalam menilai dan mempertimbangkan persoalan etika profesi yang terkait dalam proses pengambilan keputusan profesional.

Etika profesi polri menurut   Skep No. Pol. : 7 Tahun 2006 adalah  kristalisasi  yang  dilandasi  dan dijiwai pancasila serta mencerminkan jati diri anggota polisi, komitmen terhadap moral, Etika Kepolisian, Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan dan Etika dalam hubungan dengan masyarakat

Etika Berinteraksi Dengan Masyarakat.
Dalam Peraturan Kapolri No 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri, diatur dalam pasal 2 yang berbunyi Ruang Lingkup Pengaturan Kode Etik Profesi Polri menyangkup : a) Etika kepribadian. b) Etika kenegaraan. c) Etika kelembagaan. d) Etika hubungan dengan masyarakat. Sedangkan etika hubungan dengan masyarakat yang perlu dilakukan seorang anggota Polri, yaitu : Menghormati harkat dan martabat manusia melalui penghargaan serta perlindungan terhadap HAM, Menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kesamaan bagi semua warga Negara, Menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat, Menegakan hukum demi terciptanya tertib social serta rasa aman public, Meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat, Melakukan tindakan pertama Kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas Kepolisian baik sedang bertugas maupun di luar dinas.

Dengan adanya aturan yang mengatur tentang etika berinteraksi dengan masyarakat, diharapkan anggota Polri dapat merubah perilakunya sesuai dengan perubahan paradigma Polri menjadi Polisi Sipil dan sesuai pengertian Polmas yaitu; filosofi organisasi yang bercirikan pada pelayanan polisi seutuhnya, personalisasi pelayanan dan disentralisasi dimana anggota di tempatkan secara tetap pada setiap komunitas, kemitraan polisi dengan warga secara proaktif dalam memecahkan masalah yang dihadapi warga, dengan tujuan untuk peningkatan kualitas hidup warga setempat.

Karena perilaku anggota Polri selama ini khususnya sebelum bergulirnya era reformasi Polri berada dibawah naungan Organisasi ABRI yang secara praktis untuk Polri berlaku perangkat instrument ABRI mulai dari filosofi, visi, misi, doktrin sampai kepada petunjuk-petunjuk pelaksanaan tugasnya lebih menampkakan penampilan militer ketimbang Polri yang sesuai dengan jati dirinya sebagai alat negara penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Etika berinteraksi dengan masyarakat dapat diterapkan dalam kegiatan operasional khususnya dalam menyajikan tingkat dan bentuk pelayanan yang memadai.

Untuk mengatur hubungan dengan masyarakat dengan Polri, maka keluarlah Peraturan Kapolri No. Pol. : 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana dalam beriteraksi dengan masarakat Polri harus (a) Menghormati harkat dan martabat manusia (b) Menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan kesamaan bagi semua warga Negara. (c) Menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat. (d) Menegakan hukum demi terciptanya tertib social serta rasa aman public. (e)  Meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat. (f)Melakukan tindakan pertama Kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas Kepolisian baik sedang bertugas maupun di luar dinas. poto inset google

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama