Jalurberita.com - Dalam pengertian yang mendasar dan umum, polisi adalah bagian dari administrasi pemerintahan yang berfungsi memelihara keteraturan serta ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan mendeteksi kejahatan serta mencegah terjadinya kejahatan. Dengan kata lain polisi mempunyai fungsi sebagai pengayom masyarakat dari ancaman dan tindak kejahatan yang menganggu rasa aman serta merugikan secara kejiwaan dan material, dengan cara memelihara keteraturan dan ketertiban sosial, menegakkan hukum, mendeteksi serta mencegah terjadinya kejahatan (Suparlan 1999, 1). Dalam menjalankan fungsinya kepolisian, polri berlandaskan pada Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri dalam pasal 2, Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Konsep pelayanan Kepolisian, pada hakekatnya adalah merupakan wujud dari jati diri Polri yang memberikan warna citra Polri dalam berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka pelayanan maka saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu untuk meberikan pelayanan. Saat pertemuan ini merupakan saat paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidaknya memberikan pelayanan yang terbaik saat itu pula akan ikut menentukan pembentukan citra Polri. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kepolisian
Pertama: Kompetensi berkaitan dengan kemampuan petugas-petugas Kepolisian untuk mengaplikasikan secara tepat pengetahuan dan ketrampilan sesuai ketentuan hukum. Dalam menghadapi kasus pelanggaran hukum dan gangguan kamtibmas Polisi dituntut untuk mampu: (a) Mengambil tindakan segera dan tepat sehingga suatu kasus tidak berkembang sehingga merugikan suatu pihak. (b) Mengidentifikasikan suatu kasus sehingga dapat membedakan kasus pidana dan kasus perdata, dan pelanggaran hukum pidana yang telah terjadi. (c) Mengembangkan konsep pembuktian pelanggaran yang diperlukan untuk mendukung sangkaan pelanggaran hukum dan mengumpulkan alat buktinya secara legal sesuai prosedur hukum dan obyektif.
Aspek kedua adalah konsistensi, baik dalam pengertian waktu dan tempat maupun orang. Artinya layanan Kepolisian harus disajikan secara konsisten pada sepanjang waktu, disemua tempat dan oleh segenap petugas. Nampaknya aspek inilah yang mewarnai kelemahan pelaksanaan tugas khususnya penegakan hukum oleh Polri sehingga menimbulkan kesan kurang adanya kepastian hukum dinegeri kita.
Apek ketiga yang berkenaan dengan kualitas pelayanan Polri adalah keberadaan yang banyak berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai sosial suatu masyarakat. Dalam hal ini pengembangan profesi kepolisan dituntut memiliki integritras kepribadian yang tinggi sehingga mampu: (1) mengendalikan emosi, (2) menghindarkan diri dari godaan/pengaruh negatif, (3) membatasi penggunaan kekerasan/upaya Paksa; (4) menjunjung HAM dan Menghargai hak-hak individu dan (5) berlaku sopan dan simpatik.
Harapan masyarakat yang terlampau besar pada polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebenarnya sudah sesuai apabila dikaitkan dengan tugas pokok Polri yang demikian luas, baik sebagai Penegak hukum, pelayan, pengayom, pelindung masyarakat. Dengan demikian pelayanan bagi Polri kepada masyarakat merupakan salah satu tugas pokok yang penting karena hampir sebagian besar fungsi-fungsi kepolisian terkait dengan aspek pelayanan, baik tugas kepolisan dibidang prevetif, represif maupun bimmas.
Berbagai keluhan dalam bentuk berita-berita dalam berbagai media massa, merupakan suatu indikator bahwa Polri perlu untuk melakukan evalasi atas pelayanan yang selama ini diberikannya untuk kemudian mengambl langkah-langka peningkatan. Dalam rangka pelayanan masyarakat maka ada saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu untuk memberikan pelayanan. Saat pertemuan ini merupakan saat paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidak mampu memberikan pelayanan yang terbaik, saat ini pula akan ikut menentukan pembentukan citra Polri.
Momen pertemuan ini pada umumnya terjadi pada ujung tombak operasional Polri yaitu Polsek-polsek dan Polres-polres dimana anggota Polri yang terlibat terutama adalah anggota-anggota Bintara dan tamtama. Polsek-Polsek dan anggota yang berpangkat Bintara dan tamtama dalam kenyataan merupakan unsur pelaksana terdepan dari organisasi polri yang memiliki kelemahan-kelemahan yang disebabkan berbagai faktor internal seperti tingkat kemampuan anggota, sarana dan prasana peralatan maupun kemampuan tehnik manjerial.
Namum Dalam pelaksanaan tugas kepolisian tidak hanya memberikan bantuan yang menyenangkan tetapi juga melakukan pengawasan bahkan dalam keadaan tertentu mengambil tindakan korektif (control) yang menyakitkan. Dilain pihak Kepolisian tidak mungkin berhasil menjalankan tugas untuk mencapai tujuannya tanpa dukungan dari masyarakat. Dukungan itu akan datang jika ada kepercayaan masyarakat. Kepercayaan akan lahir jika Polri mampu menyajikan layanan jasa Kepolisian dan melalui proses hukum.
Dukungan akan datang jika polisi disenangi masyarakat (dipercayai belum tentu disenangi). Untuk disenangi oleh masyarakat, polisi dituntut, dari sudut Sosio cultural, untuk berperilaku simpatik dalam melaksanakan tugas mereka. Dengan demikian aspek kebutuhan masyarakat yang keempat yang menjadi tujuan Kepolisian adalah “ditunjukannya perilaku “ simpatik. Tercakup dalam pengertian ini adalah sikap dan perilaku arif, sopan, menghargai orang lain dan menjunjung adat. Aspek ini sering kali mendominasi publik yang diutarakan melalui media massa, walaupun sebenarnya bukan merupakan prasarat bagi keberhasilan Polri.
Citra Polisi sering merosot karena ulah beberapa orang anggotanya. Prasangka masyarakat terhadap Polisi diantaranya dibangkitkan oleh kenyataan, bahwa Polisi itu tidak memberikan perhatian yang sama terhadap seluruh bagian atau lapisan masyarakat. Kenyataan tersebut diatas terlihat pada distribusi ekologis dari pekerjaan Polisi, baik secara instansional maupun individual (Bittner, 1980 dalam Satjipto Raharjo, 1979). Oleh masyarakat Polisi dianggap lebih sering berada pada daerah-daerah tertentu pada bagian kota. Ini berakibat bahwa orang-orang dibagian tertentu mendapatkan lebih banyak keuntungan pekerjaan itu dari pada lapisan lain dalam masyarakat. (Satjipto Raharjo, 1979).
Konsep pelayanan menurut David Osborne dan Ted Gaebler, adapun konsep desentralisasi yang diungkapkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dapat dijelaskan sebagai berikut:
Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat memberikan respon lebih cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah. Dalam hal ini Polres Sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) atau dalam istilah David Balley Basic Police Unit, merupakan kesatuan yang paling rendah yang dapat menjangkau masyarakat secara langsung , dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada polres untuk mengatur kebutuhan personil dan metode dalam memberikan pelayanannya, akan mudah melakukan pilihan pelayanan yang mana yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika kewenangan yang diberikan datangnya dari atas membuat sulit bagaimana melakukan antisipasi terhadap keadaan masyarakat daerah. Bentuk pelayanan yang diberikan akan lebih sesuai dari pada bila ditetapkan oleh pusat dengan mengambil keragaman yang belum tentu cocok dengan wilayah tersebut.
Lembaga yang terdesentralisai jauh lebih efektif dari pada yang tersentralisai. Dalam hal ini bahwa dengan diberikannya kewenangan yang lebih kepada Polres akan dapat memotong birokrasi yang terlalu panjang sehingga pelayanan yang lebih cepat dari pada harus melalui bertingkat, Sebagai Polres yang berada dilini depan lebih tahu persis apa yang terjadi dilapangan, dan lebih tahu dari hari demi hari, jam demi jam tentang apa yang terjadi. Efektifitas yang didapat bisa meliputi bidang anggaran, manajemen, administratif. dan lain-lain.
Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dari pada yang tersentralisasi, dalam hal ini bahwa selama ini gagasan sering datangnya dari pimpinan pusat tetapi dengan desentralisasi, gagasan akan dapat muncul dari bawah karena saat disini, mereka menghadapi langsung perkembangan masyarakat dan dapat berinteraksi langsung kepada masyarakat, sehingga ide, gagasan akan mudah timbul dalam pembaharuan metoda pelayanan kepada masyarakat didaerahnya.
Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produkfitasnya. Dalam hal ini bahwa Polres sebagai kesatuan Operasional dasar yang diberikan kewenangan yang lebih akan menghasilkan semangat kerja karena apa yang menjadi ide dan gagasan dapat dilaksanakan, dan apabila hal ini berhasil akan memberikan semangat untuk melakukan inovasi yang lebih baik dan mendorong semangat kerja, dan dengan sendirinya produktifitas kerja akan lebih meningkat.
Namun demikian pelayanan kepada masyarakat akan lebih baik dengan memadukan konsep ini dengan sistem pembinaan yang lebih mendekatkan kepada masyarakat dimana pelayanan akan dapat menyentuh langsung individu-indvidu dalam mayarakat, konsep ini timbul dari patroli jalan kaki yang dilakukan di Michigan Amerika Serikat dimana Penelitian dilakukan oleh Trojanowicz dan Bucqueroux, 1990, perinsip-prinsip pembinaan kamtibmas ini adalah:
Pembinaan kamtibmas adalah falsafah dan strategi keorganisasian yang memungkinkan polisi dan warga masyarakat bekerjasama erat dengan berbagai cara baru untuk memecahkan berbagai penyebab kejahatan, keributan fisik maupun sosial, serta penyakit masyarakat.
Pembinaan kamtibmas perlu dilaksanakan seluruh jajaran kepolisian harus diupayakan sebijak mungkin agar seluruh jajaran Kepolisian menyadari perlunya mencari pemecahan permasalahan masyarakat dengan cara-cara yang baru dan kreatif, termasuk mengajak masyarakat untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.
Pembinaan kamtibmas membutuhkan polisi kusus, yaitu Polisi pembinaan kamtibmas. Untuk melaksanakan pembinaan kamtibams, kepolisian perlu untuk menciptakan dan mengembangkan polisi tipe baru, polisi pembina kamtibmas. Sebagai polisi pembina kamtibmas mereka harus dibebas tugaskan dari tugas-tugas patroli, atau panggilan radio, sehingga dapat melakukan aktifitasnya dengan tatap muka dengan masyarakat. Polisi Pembina kamtibmas harus bekerjasama dengan sukarelawan. Polisi pembina kamtibmas harus dapat bekerja sama dengan siapapun termasuk sukarelawan dalam mencari pemecahan, permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
Pembinaan kamtibmas memperkenalkan hubungan baru antara aparat dengan masyarakat, yang menawarkan harapan akan terkikisnya sikap apatis, sekaligus menahan diri untuk setiap dorongan untuk terlalu curiga. Pembinaan kamtibmas menambahkan demensi proaktif dalam tugas polisi. Pembinaan kamtibmas akan menambahkan unsur proaktif yang penting kedalam pola pikir kreatrif tradisional polisi, dan menjadikan tugas polisi lebih multi demensional.
Pembinaan kamtibmas bertujuan untuk melindungi lapisan masyarakat yang paling rawan. Pembinaan kamtibmas menekankan upaya pencarian cara-cara baru untuk melindungi dan mengangkat kehidupan lapisan masyarakat yang paling rawan. Remaja, fakir miskin, lanjut usia, minoritas, penyandang cacat. Pembinaan kamtibmas menyeimbangkan ketrampilan manusia dan inovasi tehnologi. Pembinaan kamtibmas memerlukan tehnologi tetapi percaya masih lebih baik dengan musyawarah dan bekerjasama.
Pembinaan kamtibmas harus menjadi peraturan yang diberlakukan terpadu.Pembinaan kamtibmas harus dilakukan secara terpadu, pembina kamtibmas sebagai jembatan dengan masyarakat. Pembinaan kamtibmas menekankan desentralisasi tugas dan wewenang. Pembinaan kamtibmas harus ditetapkan sebagai pelayanan polisi individual yang didesentralisasikan.
Polri sebagai lembaga bagian dari sistem administrasi negara dan sistem keamanan dalam negeri akan mengikuti penerapan undang-undang dengan memberikan kewenangan luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (Polres). Polres sebagai lembaga pada tingkat kabupaten atau kotamadya memerankan peranan yang penting dalam penegakan hukum dan perlindungan masyarakat, serta pelayanan masyarakat.
Dengan berkembangnya sistem pemolisian dalam mnayarakat didunia bahwa pengembangan kepolisian akan mengarah kepada polisi yang dekat dengan rakyat, dengan konsep mendahulukan pencegahan dari tindakan represif. Dengan konsep pelayanan yang disebutkan diatas dengan digabungkan dengan konsep pembinaan kamtibmas yang diambil dari prinsip prinsip patroli jalan kaki di Amerika , maka pelayanan kepolisan dengan model desentralisasi akan lebih baik dan lebih menyentuh kepada masyarakat. Dengan desentralisasi kewenangan dan tugas yang diberikan kepada Polres Selaku Kesatuan operasional dasar, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dimana Polres tersebut berada , akan lebih menampilkan pelayanan yang lebih baik dan dekat dengan masyarakat.
Konsep pelayanan Kepolisian, pada hakekatnya adalah merupakan wujud dari jati diri Polri yang memberikan warna citra Polri dalam berinteraksi dengan masyarakat dalam rangka pelayanan maka saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu untuk meberikan pelayanan. Saat pertemuan ini merupakan saat paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidaknya memberikan pelayanan yang terbaik saat itu pula akan ikut menentukan pembentukan citra Polri. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kepolisian
Pertama: Kompetensi berkaitan dengan kemampuan petugas-petugas Kepolisian untuk mengaplikasikan secara tepat pengetahuan dan ketrampilan sesuai ketentuan hukum. Dalam menghadapi kasus pelanggaran hukum dan gangguan kamtibmas Polisi dituntut untuk mampu: (a) Mengambil tindakan segera dan tepat sehingga suatu kasus tidak berkembang sehingga merugikan suatu pihak. (b) Mengidentifikasikan suatu kasus sehingga dapat membedakan kasus pidana dan kasus perdata, dan pelanggaran hukum pidana yang telah terjadi. (c) Mengembangkan konsep pembuktian pelanggaran yang diperlukan untuk mendukung sangkaan pelanggaran hukum dan mengumpulkan alat buktinya secara legal sesuai prosedur hukum dan obyektif.
Aspek kedua adalah konsistensi, baik dalam pengertian waktu dan tempat maupun orang. Artinya layanan Kepolisian harus disajikan secara konsisten pada sepanjang waktu, disemua tempat dan oleh segenap petugas. Nampaknya aspek inilah yang mewarnai kelemahan pelaksanaan tugas khususnya penegakan hukum oleh Polri sehingga menimbulkan kesan kurang adanya kepastian hukum dinegeri kita.
Apek ketiga yang berkenaan dengan kualitas pelayanan Polri adalah keberadaan yang banyak berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai sosial suatu masyarakat. Dalam hal ini pengembangan profesi kepolisan dituntut memiliki integritras kepribadian yang tinggi sehingga mampu: (1) mengendalikan emosi, (2) menghindarkan diri dari godaan/pengaruh negatif, (3) membatasi penggunaan kekerasan/upaya Paksa; (4) menjunjung HAM dan Menghargai hak-hak individu dan (5) berlaku sopan dan simpatik.
Harapan masyarakat yang terlampau besar pada polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebenarnya sudah sesuai apabila dikaitkan dengan tugas pokok Polri yang demikian luas, baik sebagai Penegak hukum, pelayan, pengayom, pelindung masyarakat. Dengan demikian pelayanan bagi Polri kepada masyarakat merupakan salah satu tugas pokok yang penting karena hampir sebagian besar fungsi-fungsi kepolisian terkait dengan aspek pelayanan, baik tugas kepolisan dibidang prevetif, represif maupun bimmas.
Berbagai keluhan dalam bentuk berita-berita dalam berbagai media massa, merupakan suatu indikator bahwa Polri perlu untuk melakukan evalasi atas pelayanan yang selama ini diberikannya untuk kemudian mengambl langkah-langka peningkatan. Dalam rangka pelayanan masyarakat maka ada saat dimana anggota masyarakat dan anggota Polri yang memberikan pelayanan bertemu untuk memberikan pelayanan. Saat pertemuan ini merupakan saat paling menentukan seberapa jauh Polri mampu atau tidak mampu memberikan pelayanan yang terbaik, saat ini pula akan ikut menentukan pembentukan citra Polri.
Momen pertemuan ini pada umumnya terjadi pada ujung tombak operasional Polri yaitu Polsek-polsek dan Polres-polres dimana anggota Polri yang terlibat terutama adalah anggota-anggota Bintara dan tamtama. Polsek-Polsek dan anggota yang berpangkat Bintara dan tamtama dalam kenyataan merupakan unsur pelaksana terdepan dari organisasi polri yang memiliki kelemahan-kelemahan yang disebabkan berbagai faktor internal seperti tingkat kemampuan anggota, sarana dan prasana peralatan maupun kemampuan tehnik manjerial.
Namum Dalam pelaksanaan tugas kepolisian tidak hanya memberikan bantuan yang menyenangkan tetapi juga melakukan pengawasan bahkan dalam keadaan tertentu mengambil tindakan korektif (control) yang menyakitkan. Dilain pihak Kepolisian tidak mungkin berhasil menjalankan tugas untuk mencapai tujuannya tanpa dukungan dari masyarakat. Dukungan itu akan datang jika ada kepercayaan masyarakat. Kepercayaan akan lahir jika Polri mampu menyajikan layanan jasa Kepolisian dan melalui proses hukum.
Dukungan akan datang jika polisi disenangi masyarakat (dipercayai belum tentu disenangi). Untuk disenangi oleh masyarakat, polisi dituntut, dari sudut Sosio cultural, untuk berperilaku simpatik dalam melaksanakan tugas mereka. Dengan demikian aspek kebutuhan masyarakat yang keempat yang menjadi tujuan Kepolisian adalah “ditunjukannya perilaku “ simpatik. Tercakup dalam pengertian ini adalah sikap dan perilaku arif, sopan, menghargai orang lain dan menjunjung adat. Aspek ini sering kali mendominasi publik yang diutarakan melalui media massa, walaupun sebenarnya bukan merupakan prasarat bagi keberhasilan Polri.
Citra Polisi sering merosot karena ulah beberapa orang anggotanya. Prasangka masyarakat terhadap Polisi diantaranya dibangkitkan oleh kenyataan, bahwa Polisi itu tidak memberikan perhatian yang sama terhadap seluruh bagian atau lapisan masyarakat. Kenyataan tersebut diatas terlihat pada distribusi ekologis dari pekerjaan Polisi, baik secara instansional maupun individual (Bittner, 1980 dalam Satjipto Raharjo, 1979). Oleh masyarakat Polisi dianggap lebih sering berada pada daerah-daerah tertentu pada bagian kota. Ini berakibat bahwa orang-orang dibagian tertentu mendapatkan lebih banyak keuntungan pekerjaan itu dari pada lapisan lain dalam masyarakat. (Satjipto Raharjo, 1979).
Konsep pelayanan menurut David Osborne dan Ted Gaebler, adapun konsep desentralisasi yang diungkapkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dapat dijelaskan sebagai berikut:
Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat memberikan respon lebih cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah. Dalam hal ini Polres Sebagai Kesatuan Operasional Dasar (KOD) atau dalam istilah David Balley Basic Police Unit, merupakan kesatuan yang paling rendah yang dapat menjangkau masyarakat secara langsung , dengan adanya kewenangan yang diberikan kepada polres untuk mengatur kebutuhan personil dan metode dalam memberikan pelayanannya, akan mudah melakukan pilihan pelayanan yang mana yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jika kewenangan yang diberikan datangnya dari atas membuat sulit bagaimana melakukan antisipasi terhadap keadaan masyarakat daerah. Bentuk pelayanan yang diberikan akan lebih sesuai dari pada bila ditetapkan oleh pusat dengan mengambil keragaman yang belum tentu cocok dengan wilayah tersebut.
Lembaga yang terdesentralisai jauh lebih efektif dari pada yang tersentralisai. Dalam hal ini bahwa dengan diberikannya kewenangan yang lebih kepada Polres akan dapat memotong birokrasi yang terlalu panjang sehingga pelayanan yang lebih cepat dari pada harus melalui bertingkat, Sebagai Polres yang berada dilini depan lebih tahu persis apa yang terjadi dilapangan, dan lebih tahu dari hari demi hari, jam demi jam tentang apa yang terjadi. Efektifitas yang didapat bisa meliputi bidang anggaran, manajemen, administratif. dan lain-lain.
Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif dari pada yang tersentralisasi, dalam hal ini bahwa selama ini gagasan sering datangnya dari pimpinan pusat tetapi dengan desentralisasi, gagasan akan dapat muncul dari bawah karena saat disini, mereka menghadapi langsung perkembangan masyarakat dan dapat berinteraksi langsung kepada masyarakat, sehingga ide, gagasan akan mudah timbul dalam pembaharuan metoda pelayanan kepada masyarakat didaerahnya.
Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produkfitasnya. Dalam hal ini bahwa Polres sebagai kesatuan Operasional dasar yang diberikan kewenangan yang lebih akan menghasilkan semangat kerja karena apa yang menjadi ide dan gagasan dapat dilaksanakan, dan apabila hal ini berhasil akan memberikan semangat untuk melakukan inovasi yang lebih baik dan mendorong semangat kerja, dan dengan sendirinya produktifitas kerja akan lebih meningkat.
Namun demikian pelayanan kepada masyarakat akan lebih baik dengan memadukan konsep ini dengan sistem pembinaan yang lebih mendekatkan kepada masyarakat dimana pelayanan akan dapat menyentuh langsung individu-indvidu dalam mayarakat, konsep ini timbul dari patroli jalan kaki yang dilakukan di Michigan Amerika Serikat dimana Penelitian dilakukan oleh Trojanowicz dan Bucqueroux, 1990, perinsip-prinsip pembinaan kamtibmas ini adalah:
Pembinaan kamtibmas adalah falsafah dan strategi keorganisasian yang memungkinkan polisi dan warga masyarakat bekerjasama erat dengan berbagai cara baru untuk memecahkan berbagai penyebab kejahatan, keributan fisik maupun sosial, serta penyakit masyarakat.
Pembinaan kamtibmas perlu dilaksanakan seluruh jajaran kepolisian harus diupayakan sebijak mungkin agar seluruh jajaran Kepolisian menyadari perlunya mencari pemecahan permasalahan masyarakat dengan cara-cara yang baru dan kreatif, termasuk mengajak masyarakat untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.
Pembinaan kamtibmas membutuhkan polisi kusus, yaitu Polisi pembinaan kamtibmas. Untuk melaksanakan pembinaan kamtibams, kepolisian perlu untuk menciptakan dan mengembangkan polisi tipe baru, polisi pembina kamtibmas. Sebagai polisi pembina kamtibmas mereka harus dibebas tugaskan dari tugas-tugas patroli, atau panggilan radio, sehingga dapat melakukan aktifitasnya dengan tatap muka dengan masyarakat. Polisi Pembina kamtibmas harus bekerjasama dengan sukarelawan. Polisi pembina kamtibmas harus dapat bekerja sama dengan siapapun termasuk sukarelawan dalam mencari pemecahan, permasalahan yang timbul dalam masyarakat.
Pembinaan kamtibmas memperkenalkan hubungan baru antara aparat dengan masyarakat, yang menawarkan harapan akan terkikisnya sikap apatis, sekaligus menahan diri untuk setiap dorongan untuk terlalu curiga. Pembinaan kamtibmas menambahkan demensi proaktif dalam tugas polisi. Pembinaan kamtibmas akan menambahkan unsur proaktif yang penting kedalam pola pikir kreatrif tradisional polisi, dan menjadikan tugas polisi lebih multi demensional.
Pembinaan kamtibmas bertujuan untuk melindungi lapisan masyarakat yang paling rawan. Pembinaan kamtibmas menekankan upaya pencarian cara-cara baru untuk melindungi dan mengangkat kehidupan lapisan masyarakat yang paling rawan. Remaja, fakir miskin, lanjut usia, minoritas, penyandang cacat. Pembinaan kamtibmas menyeimbangkan ketrampilan manusia dan inovasi tehnologi. Pembinaan kamtibmas memerlukan tehnologi tetapi percaya masih lebih baik dengan musyawarah dan bekerjasama.
Pembinaan kamtibmas harus menjadi peraturan yang diberlakukan terpadu.Pembinaan kamtibmas harus dilakukan secara terpadu, pembina kamtibmas sebagai jembatan dengan masyarakat. Pembinaan kamtibmas menekankan desentralisasi tugas dan wewenang. Pembinaan kamtibmas harus ditetapkan sebagai pelayanan polisi individual yang didesentralisasikan.
Polri sebagai lembaga bagian dari sistem administrasi negara dan sistem keamanan dalam negeri akan mengikuti penerapan undang-undang dengan memberikan kewenangan luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (Polres). Polres sebagai lembaga pada tingkat kabupaten atau kotamadya memerankan peranan yang penting dalam penegakan hukum dan perlindungan masyarakat, serta pelayanan masyarakat.
Dengan berkembangnya sistem pemolisian dalam mnayarakat didunia bahwa pengembangan kepolisian akan mengarah kepada polisi yang dekat dengan rakyat, dengan konsep mendahulukan pencegahan dari tindakan represif. Dengan konsep pelayanan yang disebutkan diatas dengan digabungkan dengan konsep pembinaan kamtibmas yang diambil dari prinsip prinsip patroli jalan kaki di Amerika , maka pelayanan kepolisan dengan model desentralisasi akan lebih baik dan lebih menyentuh kepada masyarakat. Dengan desentralisasi kewenangan dan tugas yang diberikan kepada Polres Selaku Kesatuan operasional dasar, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dimana Polres tersebut berada , akan lebih menampilkan pelayanan yang lebih baik dan dekat dengan masyarakat.