Jalurberita.com - Pemprov Jawa Barat (Jabar) kewalahan membatasi perizinan terkait pembangunan di kawasan Bandung utara. Kawasan yang berada di atas ketinggian 750 meter dari permukaan air laut ini merupakan daerah resapan air untuk wilayah Kota Bandung dan sekitarnya. Sekretaris Komisi Penilai Analisa Dampak Lingkungan Jabar, Prima Mayaningtias mengatakan, permohonan izin mendirikan bangunan di kawasan Bandung utara terus menerus masuk dari lima pemerintah kabupaten dan kota. Padahal, kawasan tersebut sudah tidak boleh lagi dibangun. “Makanya kalau mau membangun harus dapat rekomendasi dari gubernur,” kata Prima di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, akhir pekan lalu.
Kepala Bidang Tata Kelola Lingkungan Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah Jabar ini mengungkapkan, saat ini pihaknya sudah mengantongi hasil perhitungan daya dukung lingkungan terkait pemanfaatan ruang setiap desa di kawasan Bandung utara. “Kalau Kabupaten Bandung Barat itu antara 10%-20% (yang masih boleh dibangun). Sementara di wilayah Bandung sudah maksimal,” ujar Prima.
Pada kenyataannya, pembangunan di kawasan Bandung utara terus menerus berlangsung. “Itu pembangunan liar karena tidak mendapatkan rekomendasi pembangunan dari Gubernur Jabar,” terangnya. Walhi Jabar memperkirakan sekitar 3.000 bangunan komersil di kawasan Bandung utara. “Kami perkirakan sekitar 30% bermasalah dari aspek perizinan tata ruang dan lingkungan hidup,” papar Direktur walhi Jabar Dadan Ramdan.
Menurut dia, Gubernur Jabar harus segera melakukan audit bangunan dan fungsi lingkungan hidup di kawasan Bandung utara. “Bongkar bangunan sarana komersil yang bermasalah dari aspek perizinan. Walikota dan bupati juga harus menjalankan audit perizinan bangunan yang mereka terbitkan,” tegas Ramdan.
Kawasan Bandung utara adalah daerah resapan air untuk menyuplai air tanah ke wilayah Cekungan Bandung yang termasuk di dalamnya kawasan Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung. Kawasan yang memiliki luasan 38.543 hektare itu sekitar 75%-nya dalam kondisi kritis.
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPLKTS) Sobirin Supardiono mengatakan, kerusakan itu mayoritas terjadi pada lahan milik pribadi bukan lahan pemerintah. Meski bukan miliki pemerintah, pembangunan di kawasan itu tetap harus mendapatkan rekomendasi dari gubernur. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jabar No 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Pembangunan yang terus menerus dan tidak memperhatikan tata ruang itu berpengaruh terhadap iklim di Kota Bandung. Badan Pengendali Lingkungan Hidup Jabar mencatat terjadinya perubahan suhu rata-rata di Kota Bandung antara tahun 2002-2006. Pada tahun 2002, suhu rata-ratanya sekitar 32,6 derajat celcius, namun pada tahun 2006, suhunya mencapai 34,2 derajat celcius.
“Ini diperkirakan terus meningkat akibat emisi gas di cekungan Bandung. Sekitar 80%-nyadiakibatkan pemanasan dari bangunan gedung,” terang Prima. Institusi yang sama mencatat, kualitas udara yang bisa dikategorikan baik dan berkualitas di Kota Bandung hanya 35 hari dalam setahun.
Pendataan itu dilakukan pada tahun 2011 lalu berdasarkan akumulasi perhitungan kualitas udara setiap harinya. Udara yang kualitasnya baik atau masih berada dalam ambang batas normal setiap harinya itu lantas dijumlahkan semuanya menjadi 35 hari saja. Ambang batas itu terkait kadar minimal gas berbahaya yang terpantau di Kota Bandung. Berbagai penurunan kualitas lingkungan itu, sambung Sobirin, memperlihatkan rekomendasi gubernur terkait pembangunan di kawasan Bandung utara tidak mendapatkan perhatian. “Rekomendasi itu cuma macan ompong,” ujarnya.