Konsep Perpolisian Masyarakat

Jalurberita.com - Sebelum konsep Community Policing di luncurkan terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, di lakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip “ melayani dan melindungi ” (to serve and to protect) di tekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian. Gaya perpolisian tersebut mendorong Polri untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang di layani.

Selain itu Polri cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan eksklusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian maupun buruknya citra polisi pada sisi lain.

Kondisi ini merupakan masa lalu Polri, lebih-lebih ketika Polri di jadikan sebagai bagian integral ABRI dan Polri merupakan prajurit ABRI yang dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan militeristik yang tidak proporsional. Perpolisian semacam itu juga di tandai antara lain oleh pelaksanaan tugas kepolisian, utamanya penegakan hukum, yang bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Di sisi lain pelaksanaan tugas Kepolisian sehari-hari, lebih mengedepankan penegakan hukum utamanya untuk menanggulangi tindak kriminal.

Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara universal terutama di negara-negara maju, masyarakat cenderung semakin ‘jenuh’ dengan cara-cara Lembaga Pemerintah yang birokratis, resmi, formal/kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan publik. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah dari pada sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dipandang lebih efektif dari pada proses sistem peradilan pidana yang acapkali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya.

Kondisi sebagaimana diutarakan di atas mendorong di luncurkannya program-program baru dalam penyelenggaraan tugas kepolisian terutama yang disebut Community Policing. Lambat laun, Community Policing tidak lagi hanya merupakan suatu program dan/atau strategi melainkan suatu falsafah yang menggeser paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi mitra kepolisian dan pemecahan masalah (pelanggaran hukum) lebih merupakan kepentingan dari pada sekedar proses penanganan yang formal/prosedural.

Dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Community Policing pada hakekatnya bukan merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa diangkat dari nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih menjunjung nilai-nilai sosial dari pada individu. Pelaksanaan pengamanan lingkungan secara swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian wilayah/etnik tertentu nilai-nilai kultural masih efektif (bisa di efektifkan) dalam penyelesaian masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang religius. Pada zaman dahulu dikenal adanya “ Hakim Perdamaian ” Desa. Kondisi itu semua merupakan modal awal yang dapat berperan sebagai faktor pendukung yang efektif dalam pengembangan Community Policing “ ala ” Indonesia, jika dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan upaya membangun masyarakat madani khususnya kepolisian “sipil” yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan khususnya perlindungan hak-hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas kepolisian.

Polmas mencakup 2 (dua) unsur : perpolisian dan masyarakat. Secara harfiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata “policing” berarti segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Dalam konteks ini perpolisian tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik/teknik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafat yang melatarbelakanginya.

Sebagai suatu strategi, Polmas berarti : model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta ketenteraman kehidupan masyarakat setempat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat.

Tujuan Penerapan Polmas

a. Tujuan penerapan Polmas adalah terwujudnya kerjasama polisi dan masyarakat lokal (komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat.

b. Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan ke luar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari komunitas itu sendiri serta dalam batas-batas tertentu mengambil tindakan pertama jika terjadi kejahatan atau bahkan menyelesaikan pertikaian antar warga sehingga tidak memerlukan penanganan melalui proses formal dalam sistem peradilan pidana.

c. Menciptakan ketenteraman umum mengandung makna bahwa yang di tuju oleh Polmas bukan hanya sekadar ketiadaan gangguan faktual terhadap keamanan dan ketertiban tetapi juga perasaan takut warga dalam kehidupan bersama dalam komunitas mereka.

d. Kerjasama polisi dan masyarakat mengandung makna bukan sekadar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan / pengendalian dan analisis / evaluasi atas pelaksanaannya. Karena itu, sebagai suatu tujuan, kerjasama tersebut merupakan proses yang terus menerus tanpa akhir.

Dalam strateginya Perpolisian masyarakat memiliki dua strategi inti yaitu strategi internal (Polri) dan strategi eksternal (masyarakat)

a. Strategi Internal (Polri)

1) Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber daya Manusia khusus bagi petugas Polmas yang meliputi :

a) Rekrutmen
b) Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih (Master trainers) maupun petugas Polmas
c) Pembinaan karir secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya.
d) Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan.
e) Penghargaan dan penghukuman.

2) Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahap sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan.

3) Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas.

4) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas.

5) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas.

6) Setiap aktivitas penyajian layanan kepolisian mencerminkan suatu pendekatan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

7) Setiap anggota Polri dalam tampilan di tempat umum menunjukan sikap dan perilaku yang korektif serta dalam kehidupan di lingkungan pemukiman/kerja senantiasa berupaya membangun hubungan yang harmonis dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

8) Mengembangkan program-program yang sejalan dengan program Polmas pada satuan-satuan fungsi operasional kepolisian tingkat Polres ke atas.

b. Strategi Eksternal (Masyarakat)

1) Mengadakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah, DPRD dan instansi terkait lainnya.

2) Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial termasuk pengusaha, media massa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program-program Polmas.

3) Meningkatkan program-program sosialisasi yang di lakukan petugas Polmas dan setiap petugas pada satuan-satuan fungsi guna meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan stabilitas Kamtibmas.

4) Membentuk Forum Kemitraan Polisi - Masyarakat (FKPM) sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan Polmas dalam lingkungannya.

5) Menyelenggarakan program-program Polmas pada komunitas-komunitas sehingga secara bertahap dapat diimplementasikan pada setiap lingkungan kehidupan masyarakat lokal.

6) Membangun jaringan koordinasi dan kerjasama antara Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat dengan kesatuan Polri setempat termasuk memantau, mengawasi/ mengendalikan, memberikan bimbingan teknis dan arahan serta melakukan penilaian atas keefektifan program Polmas.

Pada awal penerapannya Polmas di Indonesia merupakan konsep yang mengambil ide dasar dari comunity Policing di negara lain, namun pada perkembangan sekarang Polmas telah memiliki warna yang jelas dan mampu mengakomodir pranata-pranata sosial masyarakat dengan tidak meninggalkan pola-pola lama Polri yang dipandang masih sangat relevan pada saat ini namun dengan memberikan semangat yang berbeda yaitu semangat kesetaraan antara Polri dan Masyarakat dalam bidang pemeliharaan kamtibmas, Strategi Polmas sebagai wujud perkembangan Kepolisian modern dalam negara demokrasi yang plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia di terapkan melalui model-model Polmas yang di kembangkan melalui :

a. Modifikasi pranata sosial dan pola pemolisian masyarakat tradisional (model A ).

b. Intensifikasi fungsi Polri di bidang Pemibinaan masyarakat (Model B).

c. Penyesuaian model community policyng dari negara-negara lain (Model C)

Konsepsi Safari Kamtibmas.

Konsepsi safari kamtibmas esensinya cenderung mendekati Polmas Model B ( model B 21 dan B 22 )yaitu kegiatan fungsi kepolisian dalam bentuk penyuluhan umum kamtibmas dan Bimmas keliling bukan hanya oleh anggota Polri namun juga oleh pejabat Polri baik itu Kapolresta, Para Kabag maupun Kapolsek yang di intensifkan.

Konsepsi Safari Kamtibmas merupakan sebuah model kreatif yang di persiapkan sebagai sebuah kegiatan untuk menjalankan kebijakan, penyusunan program dan strategi penyusunan program tentang pola pendekatan kepada masyarakat dengan mengintegrasikan ilmu-ilmu Kepolisian dan diarahkan untuk memberikan pemahaman tentang Strategi Pemolisian Masyarakat.

Safari Kamtibmas merupakan kegiatan Polri yang dilaksanakan dengan cara safari ( mendatangi ) masyarakat secara terencana baik waktu, jenis kegiatan dan sasaran yaitu masyarakat atau kelompok masyarakat sesuai dengan kepentingan wilayah maupun kawasan, dengan mempertimbangakan aspek kondisi sosial budaya.

Sasaran utama dalam safari kamtibmas adalah membangun komunikasi sosial antara Polri dengan pranata-pranata sosial yang tumbuh di masyarakat, sekaligus berinteraksi dengan masyarakat guna mendengar apa yang menjadi harapan masyarakat terhadap Polri maupun menerima masukan dari masyarakat terhadap berbagai permasalahan sosial baik yang bersumber dari perkembangan sosial masyarakat maupun sebagai dampak dari perkembangan lingkungan strategis.

Model ini lebih merupakan solusi untuk mencairkan kejenuhan masyarakat terhadap sistem birokrasi yang selalu resmi, formal dan kaku dalam menyediakan layanan publik. Keinginan masyarakat saat ini adalah adanya wujud nyata dari sikap polisi sipil yaitu Polisi yang beradab yang mampu menghargai kearifan lokal sebagai sebuah fenomena masyarakat, dalam era polisi sipil masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan personal yang bersifat informal, menyatu, ramah dan bersahabat bukan hanya dengan anggota sebagai unsur pelaksana namun juga dengan Kapolresta, pejabat utama Polresta dan Kapolsekta.

Sebagaimana teori motivasi dari Maslow bahwa setiap orang memiliki kebutuhan aktualisasi diri yaitu adanya pengakuan keberadaan dirinya di tengah masyarakat, pada lapis-lapis tertentu dalam struktur masyarakat, komunikasi sosial dengan polisi memerlukan kontak langsung dengan Pimpinan Kepolisian setempat ( Kapolresta), masyarakat berkeinginan kenal dan mendengarkan secara langsung tentang konsep dasar dan strategi Kapolresta dalam menciptakan/mengelola keamanan dan ketertiban, komunikasi dengan anggota Polri pada lapis unsur pelaksana, menurutnya terkadang tidak mampu menampung aspirasi dan memberikan jaminan harapan, pada kontek/tataran semacam ini diperlukan kehadiran Kapolresta secara langsung berkomunikasi dengan masyarakat.

Safari kamtibmas sebagai sebuah model perpolisian masyarakat perlu di kelola dengan sistem manajemen agar kegiatan dapat terencana, terorganisir, dilaksanakan dan dapat diawasi serta di kendalikan.Safari kamtibmas sesuai dengan konsepsi penulis merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara bersama dengan instansi terkait dan lembaga-lembaga yang ada di masyarakat berupa pranata-pranata sosial.

Safari kamtibmas sebagai sebuah kegiatan bersama antara Polri dan instansi pemerintah dalam memberdayakan masyarakat baik dalam bidang keamanan maupun kesejahteraan merupakan bagian dari strategi polmas sehingga manajemen safari kamtibmas tidak berdiri sendiri akan tetapi menginduk pada manajemen polmas.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama