Jalurberita.com - Salah satu bentuk perkembangan
demokrasi dalam transfortasi yang juga di akomodir oleh undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan berupa pengawalan Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut pertimbangan petugas kepolisian atau dikresi yang melekat pada petugas polri maka akan banyak persepsi yang muncul dalam melaksanakan amanat undang-undang tersebut bahkan opini masyarakat cenderung mengatakan bahwa yang mampu menggunakan jasa tersebut adalah orang atau organisasi yang mempunyai kekuatan pinansial (uang).
Dengan akumulasi permasalahan yang terjadi baik kemacetan lalu lintas, belum terwujudnya kemitraan Polri dan masyarakat sesuai harapan Perkap Polmas maka kasus yang terjadi pada konvoi moge merupakan akumulasi dari permasalahan yang terjadi dalam manajemen lalu lintas yang harus segera dicari akar permasalahannya sehingga rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terdapat pada Pasal 134 dan Pasal 135 mengatur tentang kendaraan yang mendapatkan hak utama. Di dalam Pasal 134, disebutkan pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas
b. Ambulans yang mengangkut orang sakit
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas
d. Kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara
f. Iring-iringan pengantar jenazah
g. Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Di dalam Pasal 135, dipaparkan soal apa saja hak utama yang didapat, yaitu pengawalan petugas kepolisian dan atau penggunaan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.Dari paparan kedua pasal di atas, memang terlihat ada sejumlah kondisi yang membuat pengguna jalan mendapat hak utama. Namun, perlu dijelaskan lebih lanjut soal hak utama bagi konvoi yang tercantum pada Pasal 134 huruf g.
UU 22/2009 ini memberikan penjelasan dan batasan tentang konvoi dan atau kendaraan seperti apa yang berhak mendapat pengawalan. Di dalam rinciannya, tak terdapat konvoi moge menjadi salah satu pengguna jalan yang berhak mendapat hak utama.
Pada bagian penjelasan Pasal 134 huruf g dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "kepentingan tertentu" adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain, kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk bencana alam. Menurut Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Agus Rianto "Kalau ada rombongan apa pun berpengawal polisi, berarti ada yang diperlukan rombongan itu. Maka, kami mohon pemahaman pengguna jalan, mohon diberi kesempatan untuk didahului," Senin (17/8/2015) siang.
Agus mengatakan, kebijakan tersebut bukan berarti Polri bertindak sewenang-wenang terhadap pengguna jalan lainnya. Agus menegaskan, pengawalan polisi atas aktivitas tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Darat.
Pengawalan itu, lanjut Agus, juga didukung dengan hak diskresi yang dimiliki personel Polri. Dalam keadaan tertentu, pengawal Polri bisa saja menerobos lampu merah, meminta pengguna jalan lain menepi, dan sebagainya dengan hak tersebut.
"Polri di lapangan memiliki penilaian gimana dia menggunakan hak diskresinya. Tentunya ini demi keamanan dan kenyamanan pengguna jalan yang lain juga," ujar Agus.
Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdapat pasal yang mengatur tentang kendaraan yang mendapatkan hak utama, yakni pada pasal 134 dan pasal 135. Pada pasal 134 disebutkan beberapa pengguna jalan yang memperoleh hak untuk didahulukan. Berikut adalah beberapa pengguna jalan yang berhak untuk didahulukan berdasarkan Undang-undang:
Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas,
Ambulans yang mengangkut orang sakit
Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas
Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia
Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara
Iring-iringan pengantar jenazah
Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Berdasarkan Undang-undang diatas tidak diterangkan secara jelas konvoi jenis apa yang berhak mendapatkan pengawalan dari kepolisian. Lalu, pada pasal 135 juga disebutkan bahwa Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas menjadi tidak berlaku bagi kendaraan yang mendapatkan hak utama atau berhak didahulukan.
Berdasarkan peraturan di atas, konvoi dan kendaraan untuk tujuan tertentu memang diizinkan untuk mendapatkan pengawalan. Namun, belum dijelaskan secara jelas untuk tujuan yang seperti apa yang akan mendapatkan pengawalan.
Sepertinya pihak kepolisian juga harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hal ini agar tidak terjadi lagi kejadian seperti yang dialami peserta konvoi moge di Yogyakarta.Mungkin seringkali kita jumpai, kendaraan patroli polisi yang bertugas melakukan pengawalan beserta rombongan kendaraan tertentu yang dikawalnya melintas di jalan raya yang padat. Mobil polisi tersebut (voorrijder), membunyikan sirine untuk meminta pengguna jalan lain memberi jalan terhadap rombongan tersebut. Sebagai orang awam, saya beranggapan bahwa yang dikawalnya tersebut adalah orang penting, yah paling tidak setingkat gubernur atau menteri.
Tetapi terkadang di lain waktu ada hal yang sedikit janggal sekaligus mengherankan, yaitu kendaraan patroli polisi itu dipergunakan untuk mengawal kendaraan yang bukan prioritas utama yang wajib diberikan pengawalan menurut undang-undang yang berlaku, seperti yang kadang saya lihat kendaraan mewah ber-plat hitam. Atau juga pengawalan yang dilakukan oleh orang sipil tetapi dengan menyalakan sirine.
Pengawalan bus oleh polisi Pada dasarnya menggunakan sarana dan prasana jalan untuk keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Hak utama itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993.
Semua kendaraan tersebut di atas wajib didahulukan dalam berlalu lintas. Kendaraan yang mendapatkan prioritas tersebut, berdasarkan ayat 2 Pasal 65 PP diatas, harus disertai dengan pengawalan petugas yang berwenang atau dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain.
Dalam ayat 3 ditegaskan lagi, petugas yang berwenang melakukan pengamanan apabila mengetahui adanya pemakai jalan yang diprioritaskan tersebut.Dalam ayat 4 ditambahkan, perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu-lintas tentang isyarat berhenti tidak diberlakukan kepada kendaraan-kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf “a” sampai dengan “e”.
Siapa pihak yang mempunyai kewenangan melakukan pengawalan terhadap kendaraan atau iring-iringan kendaraan di jalan?
Dalam Pasal 65 ayat 3 PP Nomor 43 Tahun 1993 tercantum kata “melakukan pengamanan”. Esensi dari pengawalan tidak lain memang memberikan pengamanan, baik terhadap kendaraan yang dikawal, maupun pengguna jalan lain yang berada di sekitar kendaraan yang dikawal.Karena menyangkut “pengamanan”, pihak yang paling berwenang adalah POLRI. Karena pengamanan adalah bagian dari tugas pokok Polri.
Dalam Pasal 14 ayat 1 huruf “a” UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan, dalam melaksanakan tugas pokoknya, Polri bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan pat roll terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
Masih di ayat yang sama huruf “b” ditambahkan, Polri menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
Penyebutan istilah “petugas yang berwenang” dalam ayat 2 dan 3 dalam Pasal 65 PP. Nomor 43 Tahun 1993 di atas, jelas menunjuk kepada petugas kepolisian, karena berdasarkan Undang-Undang hanya polisi mempunyai kewenangan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan pat roll. Tidak ada Undang-Undang lain yang memberikan kewenangan demikian kepada instansi lain di luar kepolisian.
Pengawalan Terhadap Kepala Negara
Bagaimana untuk pengawalan terhadap Kepala Negara, siapakah yang berhak dan wajib melakukan pengawalan?
Khusus bagi Kepala Negara, pengawalan dilakukan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres). Dalam Pasal 7 Ayat 7 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, disebutkan mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya merupakan salah satu tugas pokok TNI dalam melakukan Operasi Militer selain Perang.
Paspamres, berdasarkan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pengamanan dan Pengawalan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, juga bertanggungjawab memberikan pengawalan serupa juga kepada presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu Presiden yang menjadi peserta pemilihan umum presiden, terhitung sejak KPU menetapkan secara resmi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Pengawalan terhadap Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres)
Untuk capres dan cawapres ternyata juga berhak mendapatkan pengawalan. Sesuai Pasal 2 Keppres Nomor 31 Tahun 2004, untuk pengawalan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu Presiden dilakukan oleh Polri, terhitung sejak diumumkannya calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara resmi oleh KPU sampai dengan terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Pengawalan terhadap kendaraan atau iring-iringan kendaraan di jalan yang dilakukan oleh petugas kepolisian dan/atau Paspampres mempunyai dasar legalitas yang kuat. Sehingga jika terjadi masalah yang tidak diinginkan dalam pengawalan, petugas pengawal maupun orang yang dikawal mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang. Sebaliknya, tidak ada dasar hukum yang jelas terhadap pengawalan yang dilakukan oleh selain petugas kepolisian. Pengawalan seperti itu jelas merupakan pelanggaran hukum.
Perampasan Sementara Hak Pengguna Jalan Lainnya
Melakukan pengawalan di jalan dengan sendirinya disertai pengenaan kewajiban kepada pengguna jalan lain untuk memberikan prioritas kepada kendaraan yang dikawal. Padahal, menggunakan jalan umum merupakan hak setiap orang. Berarti pada saat berhadapan dengan kendaraan yang dikawal, hak masyarakat menggunakan jalan tersebut “dirampas” untuk sementara.
Misalnya, kendaraan dalam pengawalan dapat terus melaju meski lampu lalu lintas dalam keadaan merah, sementara pengguna jalan lain yang seharusnya berjalan karena lampu lalu lintas di posisi mereka sudah menyala hijau, dipaksa harus berhenti.
Pengaturan oleh PolisiUntuk melakukan pemaksaan kepada masyarakat tersebut diperlukan dasar hukum yang jelas, dan harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai wewenang untuk itu. Kalau tidak, pemaksaan akan menjadi pelanggaran hukum, karena merupakan perampasan hak orang lain secara tidak sah. Sedangkan petugas yang melakukan pemaksaan itu telah melakukan sesuatu yang di luar wilayah kewenangannya. Instansi yang mempunyai dasar hukum untuk melakukan pemaksaan tersebut adalah Polri.
Dalam Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 43 Tahun 1993 ditegaskan bahwa dalam keadaan tertentu petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:
a. memberhentikan arus lalu lintas dan/atau pemakai jalan tertentu
b. memerintahkan pemakai jalan untuk jalan terus
c. mempercepat arus lalu lintas
d. memperlambat arus lalu lintas
e. mengubah arah arus lalu lintas
“Keadaan tertentu” yang dimaksud dalam ayat tersebut bisa dalam berbagai bentuk, termasuk di antaranya “keadaan tertentu yang diakibatkan pengawalan”.
Kriteria Yang Memaksa Terjadinya “Keadaan Tertentu” Lalu bagaimana menentukan kriteria “keadaan tertentu” dalam PP di atas, dan kriteria “sesuai kebutuhan” dalam UU Kepolisian itu sehingga petugas kepolisian bisa melakukan tindakan seperti di atas?
Dalam Pasal 18 UU Kepolisian dikatakan, untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
“Bertindak menurut penilaiannya sendiri” itu biasa disebut dengan istilah wewenang Diskresi Kepolisian. Satu-satu-nya instansi yang memiliki kewenangan diskresi berdasarkan Undang-undang hanyalah Polri. Tidak ada satu lembaga pun di negara ini yang mempunyai kewenangan demikian.
Dalam Pasal 34 Ayat 2 PP Nomor 43 Tahun 1993 juga ditekankan, pemakai jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas polisi.
Pada ayat 2 dipertegas lagi, perintah yang diberikan oleh petugas polisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, wajib didahulukan daripada perintah yang diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas.
Artinya, jika petugas kepolisian memerintahkan pengguna jalan untuk berhenti, dia harus berhenti walaupun alat pemberi isyarat lalu lintas atau rambu-rambu memerintahkan untuk berjalan.
Penutup
PP. Nomor 43 Tahun 1993 sudah membatasi hanya tujuh jenis penggunaan kendaraan yang boleh diprioritaskan dan mendapat pengawalan di jalan. Di luar itu tidak ada yang berhak, dan apabila melakukannya juga berarti merupakan pelanggaran hukum.
Pengaturan tersebut sesungguhnya sangat mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebab, dari tujuh jenis penggunaan kendaraan itu, lima di antaranya adalah kendaraan yang secara langsung digunakan untuk kepentingan masyarakat, yakni pemadam kebakaran, ambulan, kendaraan yang menolong kecelakaan lalu lintas, kendaraan jenazah, dan kendaraan pawai orang cacat.
Hanya satu yang secara langsung mengutamakan kepentingan pemerintah, yakni kendaraan kepala negara dan tamu negara. Satunya lagi, kendaraan untuk keperluan khusus atau mengangkut barang khusus, bisa menyangkut kepentingan kedua belah pihak.
demokrasi dalam transfortasi yang juga di akomodir oleh undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan berupa pengawalan Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut pertimbangan petugas kepolisian atau dikresi yang melekat pada petugas polri maka akan banyak persepsi yang muncul dalam melaksanakan amanat undang-undang tersebut bahkan opini masyarakat cenderung mengatakan bahwa yang mampu menggunakan jasa tersebut adalah orang atau organisasi yang mempunyai kekuatan pinansial (uang).
Dengan akumulasi permasalahan yang terjadi baik kemacetan lalu lintas, belum terwujudnya kemitraan Polri dan masyarakat sesuai harapan Perkap Polmas maka kasus yang terjadi pada konvoi moge merupakan akumulasi dari permasalahan yang terjadi dalam manajemen lalu lintas yang harus segera dicari akar permasalahannya sehingga rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terdapat pada Pasal 134 dan Pasal 135 mengatur tentang kendaraan yang mendapatkan hak utama. Di dalam Pasal 134, disebutkan pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didahulukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas
b. Ambulans yang mengangkut orang sakit
c. Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas
d. Kendaraan pimpinan lembaga negara Republik Indonesia
e. Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara
f. Iring-iringan pengantar jenazah
g. Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Di dalam Pasal 135, dipaparkan soal apa saja hak utama yang didapat, yaitu pengawalan petugas kepolisian dan atau penggunaan isyarat lampu merah atau biru dan bunyi sirene.Dari paparan kedua pasal di atas, memang terlihat ada sejumlah kondisi yang membuat pengguna jalan mendapat hak utama. Namun, perlu dijelaskan lebih lanjut soal hak utama bagi konvoi yang tercantum pada Pasal 134 huruf g.
UU 22/2009 ini memberikan penjelasan dan batasan tentang konvoi dan atau kendaraan seperti apa yang berhak mendapat pengawalan. Di dalam rinciannya, tak terdapat konvoi moge menjadi salah satu pengguna jalan yang berhak mendapat hak utama.
Pada bagian penjelasan Pasal 134 huruf g dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "kepentingan tertentu" adalah kepentingan yang memerlukan penanganan segera, antara lain, kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru-hara, dan kendaraan untuk bencana alam. Menurut Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Agus Rianto "Kalau ada rombongan apa pun berpengawal polisi, berarti ada yang diperlukan rombongan itu. Maka, kami mohon pemahaman pengguna jalan, mohon diberi kesempatan untuk didahului," Senin (17/8/2015) siang.
Agus mengatakan, kebijakan tersebut bukan berarti Polri bertindak sewenang-wenang terhadap pengguna jalan lainnya. Agus menegaskan, pengawalan polisi atas aktivitas tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Darat.
Pengawalan itu, lanjut Agus, juga didukung dengan hak diskresi yang dimiliki personel Polri. Dalam keadaan tertentu, pengawal Polri bisa saja menerobos lampu merah, meminta pengguna jalan lain menepi, dan sebagainya dengan hak tersebut.
"Polri di lapangan memiliki penilaian gimana dia menggunakan hak diskresinya. Tentunya ini demi keamanan dan kenyamanan pengguna jalan yang lain juga," ujar Agus.
Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan terdapat pasal yang mengatur tentang kendaraan yang mendapatkan hak utama, yakni pada pasal 134 dan pasal 135. Pada pasal 134 disebutkan beberapa pengguna jalan yang memperoleh hak untuk didahulukan. Berikut adalah beberapa pengguna jalan yang berhak untuk didahulukan berdasarkan Undang-undang:
Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas,
Ambulans yang mengangkut orang sakit
Kendaraan untuk memberikan pertolongan pada Kecelakaan Lalu Lintas
Kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia
Kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara
Iring-iringan pengantar jenazah
Konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia
Berdasarkan Undang-undang diatas tidak diterangkan secara jelas konvoi jenis apa yang berhak mendapatkan pengawalan dari kepolisian. Lalu, pada pasal 135 juga disebutkan bahwa Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas dan Rambu Lalu Lintas menjadi tidak berlaku bagi kendaraan yang mendapatkan hak utama atau berhak didahulukan.
Berdasarkan peraturan di atas, konvoi dan kendaraan untuk tujuan tertentu memang diizinkan untuk mendapatkan pengawalan. Namun, belum dijelaskan secara jelas untuk tujuan yang seperti apa yang akan mendapatkan pengawalan.
Sepertinya pihak kepolisian juga harus memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hal ini agar tidak terjadi lagi kejadian seperti yang dialami peserta konvoi moge di Yogyakarta.Mungkin seringkali kita jumpai, kendaraan patroli polisi yang bertugas melakukan pengawalan beserta rombongan kendaraan tertentu yang dikawalnya melintas di jalan raya yang padat. Mobil polisi tersebut (voorrijder), membunyikan sirine untuk meminta pengguna jalan lain memberi jalan terhadap rombongan tersebut. Sebagai orang awam, saya beranggapan bahwa yang dikawalnya tersebut adalah orang penting, yah paling tidak setingkat gubernur atau menteri.
Tetapi terkadang di lain waktu ada hal yang sedikit janggal sekaligus mengherankan, yaitu kendaraan patroli polisi itu dipergunakan untuk mengawal kendaraan yang bukan prioritas utama yang wajib diberikan pengawalan menurut undang-undang yang berlaku, seperti yang kadang saya lihat kendaraan mewah ber-plat hitam. Atau juga pengawalan yang dilakukan oleh orang sipil tetapi dengan menyalakan sirine.
Pengawalan bus oleh polisi Pada dasarnya menggunakan sarana dan prasana jalan untuk keperluan berlalu lintas adalah hak asasi setiap orang. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Tidak ada seorang pun mempunyai hak untuk diutamakan, kecuali didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang ada memberikan peluang bagi orang tertentu atau kendaraan yang digunakan bagi keperluan tertentu mendapatkan prioritas menggunakan jalan untuk berlalu lintas. Hak utama itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993.
Semua kendaraan tersebut di atas wajib didahulukan dalam berlalu lintas. Kendaraan yang mendapatkan prioritas tersebut, berdasarkan ayat 2 Pasal 65 PP diatas, harus disertai dengan pengawalan petugas yang berwenang atau dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain.
Dalam ayat 3 ditegaskan lagi, petugas yang berwenang melakukan pengamanan apabila mengetahui adanya pemakai jalan yang diprioritaskan tersebut.Dalam ayat 4 ditambahkan, perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu-lintas tentang isyarat berhenti tidak diberlakukan kepada kendaraan-kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf “a” sampai dengan “e”.
Siapa pihak yang mempunyai kewenangan melakukan pengawalan terhadap kendaraan atau iring-iringan kendaraan di jalan?
Dalam Pasal 65 ayat 3 PP Nomor 43 Tahun 1993 tercantum kata “melakukan pengamanan”. Esensi dari pengawalan tidak lain memang memberikan pengamanan, baik terhadap kendaraan yang dikawal, maupun pengguna jalan lain yang berada di sekitar kendaraan yang dikawal.Karena menyangkut “pengamanan”, pihak yang paling berwenang adalah POLRI. Karena pengamanan adalah bagian dari tugas pokok Polri.
Dalam Pasal 14 ayat 1 huruf “a” UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan, dalam melaksanakan tugas pokoknya, Polri bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan pat roll terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
Masih di ayat yang sama huruf “b” ditambahkan, Polri menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
Penyebutan istilah “petugas yang berwenang” dalam ayat 2 dan 3 dalam Pasal 65 PP. Nomor 43 Tahun 1993 di atas, jelas menunjuk kepada petugas kepolisian, karena berdasarkan Undang-Undang hanya polisi mempunyai kewenangan melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan pat roll. Tidak ada Undang-Undang lain yang memberikan kewenangan demikian kepada instansi lain di luar kepolisian.
Pengawalan Terhadap Kepala Negara
Bagaimana untuk pengawalan terhadap Kepala Negara, siapakah yang berhak dan wajib melakukan pengawalan?
Khusus bagi Kepala Negara, pengawalan dilakukan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres). Dalam Pasal 7 Ayat 7 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, disebutkan mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya merupakan salah satu tugas pokok TNI dalam melakukan Operasi Militer selain Perang.
Paspamres, berdasarkan Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2004 tentang Pengamanan dan Pengawalan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, juga bertanggungjawab memberikan pengawalan serupa juga kepada presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu Presiden yang menjadi peserta pemilihan umum presiden, terhitung sejak KPU menetapkan secara resmi pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Pengawalan terhadap Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres)
Untuk capres dan cawapres ternyata juga berhak mendapatkan pengawalan. Sesuai Pasal 2 Keppres Nomor 31 Tahun 2004, untuk pengawalan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden peserta Pemilu Presiden dilakukan oleh Polri, terhitung sejak diumumkannya calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara resmi oleh KPU sampai dengan terpilihnya pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
Pengawalan terhadap kendaraan atau iring-iringan kendaraan di jalan yang dilakukan oleh petugas kepolisian dan/atau Paspampres mempunyai dasar legalitas yang kuat. Sehingga jika terjadi masalah yang tidak diinginkan dalam pengawalan, petugas pengawal maupun orang yang dikawal mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang. Sebaliknya, tidak ada dasar hukum yang jelas terhadap pengawalan yang dilakukan oleh selain petugas kepolisian. Pengawalan seperti itu jelas merupakan pelanggaran hukum.
Perampasan Sementara Hak Pengguna Jalan Lainnya
Melakukan pengawalan di jalan dengan sendirinya disertai pengenaan kewajiban kepada pengguna jalan lain untuk memberikan prioritas kepada kendaraan yang dikawal. Padahal, menggunakan jalan umum merupakan hak setiap orang. Berarti pada saat berhadapan dengan kendaraan yang dikawal, hak masyarakat menggunakan jalan tersebut “dirampas” untuk sementara.
Misalnya, kendaraan dalam pengawalan dapat terus melaju meski lampu lalu lintas dalam keadaan merah, sementara pengguna jalan lain yang seharusnya berjalan karena lampu lalu lintas di posisi mereka sudah menyala hijau, dipaksa harus berhenti.
Pengaturan oleh PolisiUntuk melakukan pemaksaan kepada masyarakat tersebut diperlukan dasar hukum yang jelas, dan harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai wewenang untuk itu. Kalau tidak, pemaksaan akan menjadi pelanggaran hukum, karena merupakan perampasan hak orang lain secara tidak sah. Sedangkan petugas yang melakukan pemaksaan itu telah melakukan sesuatu yang di luar wilayah kewenangannya. Instansi yang mempunyai dasar hukum untuk melakukan pemaksaan tersebut adalah Polri.
Dalam Pasal 34 ayat 1 PP Nomor 43 Tahun 1993 ditegaskan bahwa dalam keadaan tertentu petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan:
a. memberhentikan arus lalu lintas dan/atau pemakai jalan tertentu
b. memerintahkan pemakai jalan untuk jalan terus
c. mempercepat arus lalu lintas
d. memperlambat arus lalu lintas
e. mengubah arah arus lalu lintas
“Keadaan tertentu” yang dimaksud dalam ayat tersebut bisa dalam berbagai bentuk, termasuk di antaranya “keadaan tertentu yang diakibatkan pengawalan”.
Kriteria Yang Memaksa Terjadinya “Keadaan Tertentu” Lalu bagaimana menentukan kriteria “keadaan tertentu” dalam PP di atas, dan kriteria “sesuai kebutuhan” dalam UU Kepolisian itu sehingga petugas kepolisian bisa melakukan tindakan seperti di atas?
Dalam Pasal 18 UU Kepolisian dikatakan, untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
“Bertindak menurut penilaiannya sendiri” itu biasa disebut dengan istilah wewenang Diskresi Kepolisian. Satu-satu-nya instansi yang memiliki kewenangan diskresi berdasarkan Undang-undang hanyalah Polri. Tidak ada satu lembaga pun di negara ini yang mempunyai kewenangan demikian.
Dalam Pasal 34 Ayat 2 PP Nomor 43 Tahun 1993 juga ditekankan, pemakai jalan wajib mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas polisi.
Pada ayat 2 dipertegas lagi, perintah yang diberikan oleh petugas polisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, wajib didahulukan daripada perintah yang diberikan oleh alat pemberi isyarat lalu lintas.
Artinya, jika petugas kepolisian memerintahkan pengguna jalan untuk berhenti, dia harus berhenti walaupun alat pemberi isyarat lalu lintas atau rambu-rambu memerintahkan untuk berjalan.
Penutup
PP. Nomor 43 Tahun 1993 sudah membatasi hanya tujuh jenis penggunaan kendaraan yang boleh diprioritaskan dan mendapat pengawalan di jalan. Di luar itu tidak ada yang berhak, dan apabila melakukannya juga berarti merupakan pelanggaran hukum.
Pengaturan tersebut sesungguhnya sangat mengutamakan kepentingan masyarakat. Sebab, dari tujuh jenis penggunaan kendaraan itu, lima di antaranya adalah kendaraan yang secara langsung digunakan untuk kepentingan masyarakat, yakni pemadam kebakaran, ambulan, kendaraan yang menolong kecelakaan lalu lintas, kendaraan jenazah, dan kendaraan pawai orang cacat.
Hanya satu yang secara langsung mengutamakan kepentingan pemerintah, yakni kendaraan kepala negara dan tamu negara. Satunya lagi, kendaraan untuk keperluan khusus atau mengangkut barang khusus, bisa menyangkut kepentingan kedua belah pihak.