Jalurberita.com - Di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia sosok Polisi dikenal cukup dekat dengan masyarakat. Tugas dari
Polisi adalah mengamankan, menertibkan
sekaligus membina dan mengayomi masyarakat, sehingga dengan
demikian dalam sikap dan tingkah laku yang
terjadi pada masyarakat, Polisi
dituntut untuk bisa menangani permasalahan yang timbul secara arif dan
bijaksana, sesuai aturan-aturan hukum dan perundang-undangan
yang berlaku. Karena dekatnya hubungan Polisi dengan masyarakat, maka setiap sikap, gerak-gerik tingkah laku serta tindakan anggota
Polisi sehari-hari selalu bisa terbaca dan dimonitor oleh
seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya perbuatan atau
sikap yang positif, akan tetapi perbuatan
atau sikap anggota Polisi yang negatif pun akan diketahui oleh masyarakat.
Namun dalam kehidupan masyarakat sehari-hari justru yang lebih sering terlihat adalah
perbuatan atau sikap anggota Polisi yang negatif dalam arti anggota Polisi yang
tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga merugikan masyarakat, misalnya dalam menindak masyarakat yang melanggar
aturan lalu lintas, biasanya oknum Polisi menyelesaikannya di tempat saja
(damai) dengan menerima sejumlah uang. Perbuatan atau sikap anggota Polisi yang negatif/tidak
profesional tersebut tentu pada akhimya akan
menimbulkan dampak yang dapat memperburuk kepercayaan masyarakat pada institusi
Polri, dalam hal ini Polres Lapung Timur, di mata masyarakat, misalnya masyarakat menjadi tidak puas, komplain,
tidak percaya lagi pada Polisi, antipati,
demo bahkan apabila kekesalan masyarakat tersebut sudah mencapai puncaknya, maka masyarakat pun seringkali
melakukan perbuatan anarki apalagi
tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga mudah untuk
dipengaruhi.
Ditinjau secara psikologis kepercayaan masyarakat bisa terbentuk melalui
interaksi yang terus menerus
dalam pelaksanaan tugasnya ditengah-tengah masyarakat. Meskipun sama-sama warga negara, antara
Polisi dan warga masyarakat terdapat perbedaan peranan. Perbedaan ini mengarahkan pada kategorisasi sosial. Berangkat dari perbedaan ini muncul
perbedaan persepsi sosial antara Polisi dan masyarakat dalam memandang suatu persoalan.
Menurut Harold Kelly (1993:
10) bahwa "Pembentukan kepercayaan
tidak semudah menempelkan cat pada selembar kertas. Sehingga bila sudah terbentuk maka sulit juga
merubahnya". Setidaknya ada tiga kriteria hingga munculnya kepercayaan: yaitu Aspek pertama adalah konsistensi prilaku artinya kepercayaan buruk pada Polisi akan terbentuk bila anggota Polisi
terus menerus melakukan tindakan yang tidak profesional, maka masyarakat akan
bertindak berang bila melihat kondisi tersebut. Demikian juga kepercayaan baik
yang akan terbentuk bila secara konsisten aparat kepolisian berbuat baik pada masyarakat.
Aspek kedua adalah konsensus, maksudnya adalah bagaimana berbagai kalangan
di masyarakat bersama-sama men
ilai perilaku Polisi. Bila makin banyak masyarakat yang menilai baik Polisi
maka citra dan kepercayaan
masyarakat yang positif terhadap Polisi makin melekat. Aspek ketiga
adalah intensitas perilaku Polisi.
Dalam hal ini bisa diambil contoh bahwa meskipun hanya dedngan satu kasus atau kejadian buruk seperti bila ada
Polisi menganiaya warga masyarakat, maka dengan satu kejadian ini pun akan
mengkibatkan citra atau kepercayaan masyarakat yang buruk pada polisi.