IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH DAN PUSAT


elitKITA - Berbagai kelemahan dan kekurangan pada sistem Pemerintah yang sentralistrik yakni begitu besarnya peran pusat dalam menetapkan berbagai regulasi yang harus dipatuhi dan dilaksanakan ditingkat daerah, dan telah menimbulkan kesenjangan antara pusat dan daerah serta munculnya berbagai permasalahan yang mendorong tumbuh suburnya praktek-praktek KKN.

Permasalahan tersebut timbulnya karena demikian kuatnya peran Pemerintah pusat dalam membuat berbagai peraturan antara lain menyangkut pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, ketentuan pengangkatan pejabat dilingkungan birokrasi yang harus mendapatkan persetujuan dan pengesahan Pemerintah Pusat, keluarnya berbagai Inpres dan Kepres khususnya yang berkaitan dengan otonisasi dana-dana pembangunan untuk daerah, yang mau tidak mau semua ketentuan tersebut mengharuskan Pejabat Daerah untuk “Sowan” ke pusat guna kelancarnya.

Menyadari akan berbagai permasalahan tersebut Pemerintah telah menetapkan UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan memberikan kewenangan yang lebih besar Kepala Daerah untuk mengatur daerahnya sendiri (sistem Decentralisasi).

Secara umum, hubungan antara pusat dan daerah mencakup tiga aspek, yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan. 

PEMBAHASAN
Hubungan antara pusat dan daerah akan selalu ada dalam suatu negara apapun bentuk negaranya, baik federal maupun kesatuan. Dikotomi antara negara federal dan kesatuan ini makin kabur ketika hubungan pusat dan daerah dalam negara federal maupun negara kesatuan hampir-hampir mirip. Dalam sejarahnya, dahulu bangsa kita juga pernah memiliki pengalaman menerapkan federasi, yaitu pada jaman kerajaan dahulu. Namun dengan disepakatinya UUD 1945 sebagai konstitusi, Indonesia secara otomatis menganut bentuk negara kesatuan dan dengan desentralisasi sebagai asas penyelenggaraan negaranya. 

Desentralisasi merupakan pilihan para founding fathers kita dalam penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945, bahwa desentralisasi dianut demi tercapainya efektivitas pemerintahan dan demi terlaksananya demokrasi dari/di bawah (grassroots democracy).

Hubungan kewenangan, hubungan keuangan dan hubungan pengawasan

Perkembangan kewenangan Otonomi Daerah dan dampaknya.
Kebijakan otonomi daerah yang menetapkan sistem Pemerintah desentralisasi sesuai dengan amanat UU No. 32 tahun 2004 yang diharapkan sebagai langkah koreksi terhadap pelaksanaan sistem Pemerintah yang centralistik, ternyata belum dapat menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan peran Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) menjadi sangat besar karena sebagian besar urusan yang selama ini ditangani Pemerintah Pusat diserahkan kepada Daerah. Daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dan aturan (Perda, Skep/Kep Gubenur, Bupati, Walikota), disamping itu daerah juga diberi kewenangan untuk megelola sebagian besar potensi sumber daya alam yang ada diwilayahnya, serta upaya-upaya lain dalam rangka peningkatan PAD nya. Dalam hal pengelolahan anggaran (APBD dan DAU) Kepala daerah atas persetujuan DPRD dapat menggunakan anggaran daerah yang dialokasikan untuk daerah tersebut, dengan demikian menempatkan peran DPR sebagai Lembaga penentu dalam menetapkan dapat tidaknya kebijakan Kepala Daerah (program-program pembagunan Daerah) dilaksanakan.

Desentralisasi bukan merupakan sistem yang terbaik. Sistem ini juga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi, muncullah daerah daerah otonom, yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Yang diatur dan diurus adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah. Teknik yang dapat digunakan untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana urusan daerah ada beberapa , yaitu : (1) sistem residu dimana ditentukan dulu wewenang pusat, sisanya menjadi wewenang daerah, (2) sistem material dimana tugas pemerintah daerah ditetapkan satu per satu secara limitatif dan terinci, (3) sistem formal dimana urusan daerah tidak ditetapkan dengan undang-undang melainkan daeah boleh mengatur urusan yang dirasa penting bagi daerahnya selama tidak berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat atau pemerintah daerah di atasnya, 

(4) sistem otonomi riil dimana penyerahan urusan kepada daerah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan riil dari daerah dan (5) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab yang merupakan variasi dari otonomi riil yang tercantum dalam UU No 5 Tahun 1974. Urusan otonomi daerah ini tidak statis, tetapi dinamis : berkembang dan berubah. Hal ini karena terjadinya perubahan di masyarakat, sehingga urusan daerah dapat ditambah atau ditarik menurut situasi dan perspektif yang dipakai. 

2. Perwujudan Good Governance dan Clean Governance. 

Perwujudan pemerintah yang baik dan pemerintah yang bersih yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) belum dapat terwujud secara optimal. Indikasi hal ini dapat dilihat dari adanya Bupati, Kepala Dinas, Kepala BUMN, anggota DPRD yang terlihat dalam kasus korupsi kualitas pelayanan public belum dapat di wujudkan secara maksimal.

Kemudian UU No 32/2004 disahkan untuk mengganti UU No. 22/1999. Misi utama pemerintah daerah adalah menyediakan pelayanan dasar dan mengembangkan sektor unggulan secara demokratis. Bagian urusan pemerintahan dilaksanakan masing-masing tingkatan pemerintahan berdasarkan 3 kriteria : 

Pusat : berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, monev, supervisi, fasilitasi, dan urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas nasional.

Provinsi : berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional (lintas kab/kota).

Kab/kota : berwenang mengatur dan mengurus urusan-uruan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam satu kab/kota).

UU No.32 tahun 2004 ini juga membagi urusan pemerintahan menjadi 2, urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan urusan yang harus ada berkaitan dengan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Urusan wajib ada 26, sedangkan urusan pilihan ada 8 urusan. Bila dilihat dari penyerahan urusan pusat ke daerah, kerangka UU no 32/2004 ini tidak memenuhi aspek edukasi, karena semua daerah dipukul rata dengan 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan. Padahal kemampuan tiap daerah berbeda-beda dan perlu pembelajaran secara gradual.

Dalam pembagian urusan, antara UU no 22/1999 dan UU no 32/2004 memiliki perbedaan. Pada UU no 22/1999 memakai prinsip residual function, artinay semua urusan pemerintahan yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 25/2000 sebagai kewenangan pusat atau provinsi menjadi kewenangan kabupaten/kota. Sedangkan pada UU No 32/2004 menggunakan prinsip concurrence function artinya diterapkan konkurensi pada setiap urusan pemerintahan. Apa yang dikerjakan di pusat juga menjadi kewenangan provinsi dan kabuapaten/kota hanya skalanya yang berbeda. Pusat memiliki skala nasional dan lintas provinsi, provinsi memiliki skala regional lintas kabupaten/kota sedangkan kabupaten kota memiliki kewenangan skala kabupaten/kota atas 31 urusan kabupaten/kota yang didesentralisasikan.

3. Dampak negatip yang timbul dari perkembangan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Sebagai akibat kondisi yang demikian, telah menimbulkan berbagai dampak antara lain tumpang tindihnya berbagai peraturan khususnya antara pusat dan daerah, munculnya birokrasi pemerintah yang semakin berbelit-belit, maraknya kegiatan restribusi serta maraknya ilegal loging, ilegal mining, ilegal fishing dalam rangka mengeksplorasi sumber daya alam dengan dalih untuk meningkatkan PAD, semakin beragam prosedur-prosedur perizinan, semakin maraknya KKN dilingkungan birokrasi serta semakin lebarnya peluang untuk melakukan korupsi.

Pengawasan ini perlu dilakukan dengan alasan pemerintah daerah perlu memberikan pelayanan pada rakyatnya, sehingga perlu diberikan standar pelayanan minimal, menjaga dan melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat daerah.

Di Indonesia pengawasan dilakukan dengan tujuan tujuan sebagai berikut : Untuk mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan atau tidak Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa yang dijumpai oleh para pelaksana sehingga dengan demikian dapat diambil langkah-langkah perbaikan di kemudian hari.

Mempermudah dan memperingan tugas-tugas pelaksana, karena pelaksana tidak mungkin dapat melihat kemungkinan-kemungkinan kesalahan yang dibuatnya karena kesibukan sehari-hari. Pengawasan bukanlah untuk mencari kesalahan melainkan untuk memperbaiki kesalahan.

3. Kesimpulan
a. Pelaksanaan Otonomi Daerah disamping terdapat hal yang positip memunculkan dampak yang dapat mempengaruhi upaya–upaya Pemerintah untuk mewujudkan Good Governance dan Clean Government.

b. Permasalahan tersebut antara lain adalah munculnya berbagai bentuk dan pelanggaran sebagai akibat euporia Otonomi Daerah dan penyalahguaan wewenang oleh aparat birokrasi.

c. Dalam mewujudkan supremasi hukum masih diharapkan pada berbagai kendala, dan untuk menghilangkan kendala tersebut perlu dirumuskan suatu langkah strategis guna menjamin Kepastian Hukum dan rasa keadilan di masyarakat.

Lebih baru Lebih lama