elitKITA.com
- Batasan karakter memang sulit ditentukan. Menurut Sigmund Freud, character is
a striving system with underly behaviour, artinya sebagai kumpulan tata nilai
yang mewujud dalam suatu sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap,
dan perilaku, yang akan bisa ditampilkan secara mantap. Karakter merupakan
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Karakter
merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan,
pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan yang melandasi sikap
dan perilaku kita dalam kehidupan. Jadi, karakter tentu tidak datang dengan
sendirinya, tetapi harus dibentuk, ditumbuhkembangkan, dan dibangun. Jati diri
manusia dan jati diri suatu bangsa tentu sangat berbeda. Jati diri manusia
merupakan pemberian (given) Tuhan sejak lahir, disebut juga sebagai fitrah
manusia. Selanjutnya, jati diri suatu bangsa lahir karena pilihan sekumpulan
individu yang mengelompok dan bersepaham untuk mendirikan suatu bangsa.
Pembentukan
karakter bangsa secara fungsional memiliki tiga fungsi utama, yaitu (1) fungsi
pembentukan dan pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan dan penguatan, dan
(3) fungsi penyaring budaya bangsa.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional,Nomor 20,Tahun 2003,Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya,
Undang-Undang Republik Indonesia, No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas), Pasal 3 menyebutkan “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan dan membentuk watak serta 10 peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan
pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia
yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Tujuan pendidikan
tersebut merupakan suatu acuan dalam pendidikan untuk membentuk pribadi yang
berkarakter, bermoral, baik, bertanggung jawab, mandiri dan demokrasi.
Selanjutnya,dalam pendidikan, karakter sangat dibutuhkan sebagai konsep
bertindak dan membentuk pribadi positif peserta didik. Dalam mewujudkan hal
tersebut diperlukan terobosan dan cara yang tepat. Salah satunya adalah dengan
melibatkan keluarga dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan. Dengan
demikian, sekolah, keluarga, dan masyarakat memiliki peran strategis sebagai
pembentuk karakter anak bangsa.
Pendidikan
karakter tercermin dalam penanaman nilai-nilai budaya masyarakat kedalam
kurikulum yang merupakan muara dari pendidikan karakter itu sendiri.
Keteladanan, keagamaan, kebersihan, kepemimpinan, keramahan, toleransi, kerja
keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan
tanggung jawab.
Kurikulum
Sebagai Strategi Pendidikan Karakter Berdasarkan beberapa pendapat para ahli,
strategi kebudayaan merupakan pergeseran peradaban dan perkembangan ilmu
pengetahuan suatu kelompok masyarakat. Pendapat-pendapat tersebut dijabarkan
sebagai berikut. 1. Menurut August Comte, peradaban manusia bergeser dari mitos
ke metafisis dan akhirnya positivis. 2. Van Peursen menyebutkan bahwa
pergeseran bergerak dari alam mistis, lalu ontologis, kemudian fungsional. 3.
Dissanayake melihat peradaban manusia bergeser dari pertanian, kemudian masuk
dalam bidang industri, dan informasi. 4. Alvin Toffler berpendapat pada mulanya
manusia yang dianggap hebat adalah yang mempunyai otot kuat, memiliki modal
besar berupa uang dan lahan, dan menguasai informasi. 5. Ziauddin Sardar
mengatakan bahwa masyarakat bergerak dari sejarah ke kesadaran menuju peradaban
(umran).
Berbicara
tentang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah tentu menyinggung
pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya; formal, nonformal, infomal; sains
murni maupun ilmu terapan; sarjana, profesi, atau vokasi; sekolah, tempat
kursus, kelompok belajar maupun otodidak. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
sebatas ditransfer dari tenaga pendidik kepada peserta didik, melainkan
berlangsung proses inovasi (penemuan baru) bahkan invensi (lompatan) sehingga
membuahkan konsep, teori, paradigma, metodologi, dan teknik yang baru. Hal
demikian berakibat pada pergeseran peradaban.
Digunakannya
pendekatan scientific base dalam pengembangan materi pelajaran memberi harapan
tercapai generasi positivis, seperti yang diutarakan oleh Comte, dan masyarakat
fungsional, seperti yang diungkapkan oleh Van Peursen.Hal ini disebabkan oleh
orang-orang positivis, seperti halnya kaum fungsional, senantiasa memakai
pendekatan ilmiah dalam menghadapi fenomena alam, sosial, dan budaya.
Penggunaan strategi active learning dalam proses pembelajaran akan menghasilkan
masyarakat informasi, seperti yang diungkapkan oleh Dissanayake dan Toffler.
Betapa
tidak, dalam active learning, tindakan-tindakan pencarian, pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan, dan penemuan kembali informasi menjadi basis
pembelajaran. Lambat laun, hal itu akan membentuk kebiasan dan penghargaan atas
informasi, apakah dalam hal maknanya, jumlahnya atau kegunaannya. Selanjutnya,
melalui sistem penilaian holistic evaluationakan terbentuk generasi yang membangun
peradaban (umran). Peradaban sebuah bangsa tidak dapat dilihat dari hasilnya
saja, tetapi dari prosesnya.