Polri Mengantisipasi Komplain Masyarakat

elitKITA.com - Di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sosok Polisi dikenal cukup dekat dengan masyarakat. Tugas dari Polisi adalah mengamankan, menertibkan sekaligus membina dan mengayomi masyarakat, sehingga dengan demikian dalam sikap dan tingkah laku yang terjadi pada masyarakat, Polisi dituntut untuk bisa menangani permasalahan yang timbul secara arif dan bijaksana, sesuai aturan-aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.


Karena dekatnya hubungan Polisi dengan masyarakat, maka setiap sikap, gerak-gerik tingkah laku serta tindakan anggota Polisi sehari-hari selalu bisa terbaca dan dimonitor oleh seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya perbuatan atau sikap yang positif, akan tetapi perbuatan atau sikap anggota Polisi yang negatif pun akan  diketahui oleh masyarakat.

Namun dalam kehidupan masyarakat sehari-hari justru yang lebih sering terlihat adalah perbuatan atau sikap anggota Polisi yang negatif dalam arti anggota Polisi yang tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga merugikan masyarakat, misalnya dalam menindak masyarakat yang melanggar aturan lalu lintas, biasanya oknum Polisi menyelesaikannya di tempat saja (damai) dengan menerima sejumlah uang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Profesionalisme berasal dari kata “profesional” yang berarti 1) bersangkutan dengan profesi 2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Sedangkan arti profesionalisme adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri dari suatu profesi atau orang yang profesional.

Perbuatan atau sikap anggota Polisi yang negatif/tidak profesional tersebut tentu pada akhimya akan menimbulkan dampak yang dapat memperburuk citra Polisi di mata masyarakat, misalnya masyarakat menjadi tidak puas, komplain, tidak percaya lagi pada Polisi,  antipati, demo bahkan apabila kekesalan masyarakat tersebut sudah mencapai puncaknya, maka masyarakat pun seringkali melakukan perbuatan anarki apalagi  tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah sehingga mudah untuk dipengaruhi.

Ditinjau secara psikologis citra Polri bisa terbentuk melalui interaksi yang terus menerus dalam pelaksanaan tugasnya ditengah-tengah masyarakat. Meskipun sama-sama warga negara, antara Polisi dan warga masyarakat terdapat perbedaan peranan. Perbedaan ini mengarahkan pada kategorisasi sosial. Berangkat dari perbedaan ini muncul perbedaan persepsi sosial antara Polisi dan masyarakat dalam memandang suatu persoalan.

Menurut Harold Kelly dalam laporan penelitian yang dilaksanakan oleh team Polda Kaltim bekerjasama dengan UGM (1993: 10) bahwa "Pembentukan citra tidak semudah menempelkan cat pada selembar kertas. Sehingga bila sudah terbentuk maka sulit juga merubahnya". Setidaknya ada tiga kriteria hingga munculnya citra: yaitu pertama konsistensi prilaku artinya citra buruk pada Polisi akan terbentuk bila anggota Polisi terus menerus melakukan tindakan yang tidak profesional, maka masyarakat akan bertindak berang bila melihat kondisi tersebut. Demikian juga citra baik yang akan terbentuk bila secara konsisten aparat kepolisian berbuat baik pada masyarakat. Aspek kedua adalah konsensus, maksudnya adalah bagaimana berbagai kalangan di masyarakat bersama-sama menilai perilaku Polisi. Bila makin banyak masyarakat yang menilai baik Polisi maka citra positif Polisi makin melekat. Aspek ketiga adalah intensitas perilaku Polisi. Dalam hal ini bisa diambil contoh bahwa meskipun hanya satu kasus atau kejadian bila ada Polisi menganiaya warga masyarakat, maka dengan satu kejadian ini pun akan mengkibatkan citra yang buruk pada polisi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama