elitKita.com Jakarta - Pengertian Hibah diatur pada Pasal 1666 yang menyatakan, bahwa Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali. Menyerahkan sesuatu benda, guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
Pada prinsipnya, memang Hibah tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang menghibahkan. Namun dalam KUHPerdata juga terdapat pengecualian, terhadap pembatalan hibah yang tercantum dalam Pasal 1688 KUHPerdata sebagai berikut:
1. Hibah, dapat dibatalkan karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan.
2. Hibah, dapat dibatalkan jika si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain terhadap si penghibah.
3. Hibah, dapat dibatalkan jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.
Proses pembatalan hibah pada dasarnya, hanya dapat dilakukan dengan cara pengajuan gugatan materi pokok pembatalan hibah kepada Pengadilan Negeri. Pengajuan gugatan tersebut, dimintakan oleh penghibah yang diajukan ke Pengadilan Negeri. Supaya hibah, tersebut dibatalkan dan dikembalikan kepadanya.
Hal ini, sejalan dengan beberapa Putusan Mahkamah Agung RI yang membatalkan hibah :
1. Putusan Mahkamah Agung, No.2236 K/Pdt/1997.
"Upaya hukum terhadap pembatalan wasiat, adalah dalam bentuk gugatan dan bukan dalam bentuk perlawanan (verzet)".
2. Putusan Mahkamah Agung, No. 55 K/AG/1998 tanggal 29 Juli 1999.
"Dalam kasus ini, majelis hakim menegaskan bahwa dalam perkara gugatan mengenai hibah suatu hibah dapat dinyatakan batal. Apabila si penerima hibah, tidak dapat membuktikan secara nyata bahwa barang-barang tersebut telah dihibahkan kepadanya".
3. Putusan Mahkamah Agung, No. 601 K/Sip/1971 tanggal 16 Oktober 1971.
4. Putusan Mahkamah Agung, No. 332 K/AG/2000 tanggal 3 Agustus 2005.
5. Putusan Mahkamah Agung yang relevan adalah, putusan No. 419 K/Pdt/1986 tanggal 30 September 1988.
"Hibah dalam hukum adat, bertujuan agar penerima menghidupi pemberi hibah ketika pemberi hibah tua atau menderita sakit. Jika penerima hibah tidak melaksanakan kewajiban perawatan pemberi hibah, maka hibah tersebut dapat dibatalkan karena penerima hibah tidak melaksanakan kewajibannya".
6. Putusan Mahkamah Agung, antara lain lewat putusan No. 3491 K/Pdt/1984 tanggal 30 Juli 1987.
"Hibah tidak dapat dibenarkan, jika dilakukan secara diam-diam".
7. Putusan Mahkamah Agung, No. 956 K/Pdt/1991 tanggal 30 Oktober 1996.
"Batal demi hukum, hibah yang merugikan ahli waris".
8. Putusan Mahkamah Agung, No. 1425 K/Pdt 1985 tanggal 24 Juni 1991.
"Perbuatan hukum berupa hibah tanah yang dilakukan oleh bukan pemilik tanah, tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan hak milik orang lain. Hibah, yang demikian dapat dibatalkan”.
Oleh : M. O. Saut Hamonangan Turnip, SH. C. T. L. C
(Wawan Kusnawan)
Editor : TM - Pencerahan Hukum
Jakarta, 4 Juni 2023