Buntut Panjang Kasus Poliandri Oknum ASN di Kabupaten Bandung

 

elitKita.com Kab. Bandung, - Perkawinan poliandri adalah bentuk perkawinan, di mana seorang istri menikah dengan beberapa suami. Dalam perspektif filosofis, hukum perkawinan poliandri merupakan bentuk yang dilarang dan bertentangan dengan kodrat wanita.


Sejalan dengan perspektif filosofis, dalam perspektif normatif hukum poliandri adalah haram berdasarkan dalil Al-Quran surat An-Nisa 4:24 dan Al-Sunnah Hadis Riwayat Ahmad. Selain itu, dalam perspektif yuridis hukum poliandri bertentangan dengan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan seorang istri hanya boleh menikah dengan seorang suami (asas monogami).


Asas monogami, merupakan asas yang dianut dalam hukum perkawinan di Indonesia. Pasal 3 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.


Setelah tiga hakim Pengadilan Agama Soreang Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat, memeriksa dan mengadili kasus perceraian DH dengan Dr.  Kh. Aep Tata Surya Mag akhirnya mendapatkan sanksi oleh hakim pengawas. Hakim Daerah Pengadilan Tinggi Agama Jawa Barat, kasusnya sudah sampai ke presiden RI. Anehnya, Bupati H. Dadang Supriatna seolah-olah diduga tidak mau turun tangan. Padahal, telah terjadi dualisme. Terkesan sumir, akan memberatkan Pemda Kabupaten Bandung dengan adanya mengulur-ngulur waktu. Seolah-olah, diduga lalai dan pembiaran Civil serta efek sampingnya bisa beralih Pidana. 


Seharusnya, Bupati Bandung turun tangan menjaga kredibilitas intitusi lebih baik satu orang ketimbang merugikan orang lain. Pelaku selama ini, dilindungi oleh atasannya sampai sekarang. 

Buktinya, untuk sidang kode etik masih belum disidangkan diulur-ulur waktu. Bupati Kabupaten Bandung, harus segera memerintahkan kepada inspektorat juga ketua Aparatur Sipil mengadakan tindakan preventif dan refrensif. 


"DH diduga melakukan Pernikahan poliandri, dengan cara nikah sirih padahal masih status bersuami tentunya dapat memberikan dampak secara psikologi terhadap keturunan karena akta kelahiran cuman mengarah satu nama Ayah dan ibu. 


Jadi harus ada kepastian hukum, sebab yang menjadi korban adalah anak untuk masa depanya. Apalagi pelaku merupakan figur publik, sedangkan menurut UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dimana menurut pasal 54 secara utuh berbunyi : "Penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik yang melanggar ketentuan bagaimana yang dimaksus dengan pasal 15 huruf a dan pasal 20 ayat (1) pasal 26 dan pasal 33 ayat (3) dikenai sanksi pemberhentian dengan hormat tidak atas pemintaan sendiri. "Ungkap Ketua Konsultan Hukum Realita Principiel Recht Jabar. DR. DRS. H. Deden S Hadiwijaya SH., MH. MBA kepada elitKita.com ditemui diruang kerjanya 15/7/2023.


Menurut praktisi hukum H. Komarudin SH MH dari DPP Lembaga Konsultan Hukum Realita Principiel Recht Provinsi Jawa barat, pelaku DH bisa dipidanakan melanggar pasal 284 KUH yaitu mengatur tentang perzinahan. Si laki-laki dan perempuan bisa dijadikan tersangka dan pasal 55 KUHP turut melakukan, disini orang yang mengetahui serta dimintai bantuan untuk memberikan kesempatan suatu tindakan kejahatan tanpa mencegah Undang - Undang No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik.


Sedangkan, pasal 54 ayat (8) secara utuh DH harus dikenai sanksi pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri. Pada akhir, bila jiwa korsa kuat akan menghadap ke presiden supaya turun tangan menangani kasus ini. " Ungkap H. Komarudin (Redaksi) 


Editor : TM

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama