MANADO 🇲🇨
- Proyek Ruang Terbuka Hijau (RTH) Lapangan Sario Manado menyisakan misteri, setelah dilaporkan sejumlah LSM ke Kejaksaan Negeri Manado pasca gempa beberapa waktu lalu. Perkembangan penanganan kasus ini, cuma jaksa dan mantan Kadis Perkim Steve Kepel yang tahu. Publik tidak pernah tahu atau bahkan dilarang mengetahui kasus itu.
Dalam laporannya, sejumlah LSM meyakini ada unsur perbuatan melawan hukum (PMH) karena sangat jelas bahwa Pengguna Anggara (PA) Steve Kepel di masa itu terbukti menggeser mata anggaran Belanja Negara dari RTH ke pekerjaan yang tidak pernah dibahas DPRD Sulut yakni renovasi eksterior gedung KONI. Konon, tindakan sepihak menggeser Belanja Negara itu atas perintah penguasa daerah yang belakangan dicurigai menerima fee tanpa keringat dari proyek berbanderol, Rp.15 miliar tersebut.
PA Steve Kepel, sejauh ini diinformasikan hanya mengutus penghubung untuk mengecek siapa jaksa penyidik dan berapa jumlah jaksa yang menangani kasus ini. Beberapa pegiat antikorupsi mulai mengendus ada makelar kasus yang sedang menjajaki jasa negosiasi dengan Kejari dan Kejati. Terlebih nama kontraktor kebal air Hendrik Mamuaya mendapat sorotan publik, itu setelah muncul pernyataan tangan kanan Hendrik Mamuaya, lelaki Harjo kepada seseorang melalui panggilan telepon yang menyatakan pihaknya akan memadamkan dua api besar yakni Kembang (Kejari,red) dan 17 Agustus (Kejati). Rupanya, upaya memadamkan api tersebut agar kasus ini tidak ditindaklanjuti Kejaksaan.
“Proyek RTH yang gagal itu ada tindakan pelanggaran hukum. Sudah ditenderkan, ada perusahaan pemenangnya tapi kemudian anggaran digeser sepihak oleh KPA, apa maksud dan motifnya kita belum tahu, kemudian Kata sumber itu proyek anak pejabat daerah yang tidak boleh diberi ke kontraktor lain. Dan yang paling bertanggung jawab, adalah KPA dan kontraktor Hendrik Mamuaya. Saya mengikuti proyek ini sejak dibahas kendati tidak terealisasi,” tutur salah satu pemerhati pembangunan di Manado.
Terpisah, Ketua DPD BAKKIN Sulut Calvin Limpek meminta penyidik kejaksaan tak segan-segan memeriksa Pengguna Anggaran Steve Kepel yang saat ini sedang menjabat Sekprov Sulut.
“Kita minta jaksa periksa Steve Kepel. Dia Pengguna Anggaran. Kalau mau fair dan adil periksa itu. Kalau mau usut korupsi jangan cuma target pejabat rendahan. Kasus ini ujian profesionalitas dan integritas Kejaksaan. Ingat bahwa opini BPK tidak menjamin rangkaian kegiatan di KONI tanpa korupsi, ” jelas Calvin Limpek.
Lebih lanjut, Calvin mengatakan ada kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp465 juta.
“Kadis PRASKIM yang bertanda tangan untuk PHO dan FHO, namanya kekurangan Volume itu pidana. Oleh sebab itu kami mendesak agar Mantan Kadis PRASKIM segera dipanggil dan Diperiksa, ” imbuh Calvin.
Sebelumnya, belasan aktivis antikorupsi menuntut Sekretaris Provinsi Sulut bertanggung jawab karena tindakan menggeser belanja Negara pada Tahun Anggaran 2020 ke proyek yang berujung masalah hukum. Proyek Ruang Terbuka Hijau di Lapangan KONI Sario sejatinya dianggarkan dalam APBD TA 2020 senilai Rp15 miliar. Proyek itu sudah ditenderkan melalui LPSE Pemprov Sulut dan dimenangkan PT. Samudera Abadi Sejahtera (SAS). SAS memenangkan proyek itu dengan Harga Penawaran Sementara (HPS) Rp14.476.558.431 atau Rp14,4 miliar.
Belakangan aktivis antikorupsi mengendus, uang Negara dibelokan untuk merehabilitas seadanya exterior gedung KONI yang ujung-ujungnya rontok digoyang gempa berskala 5,9 SR pekan lalu.
“Di LPSE Pemprov Sulut Tahun Anggaran 2021 Ruang Terbuka Hijau Lapangan KONI Sario, tapi ternyata tidak dilaksanakan. Anehnya ada rehabilitasi gedung KONI yang tidak dibeber di LPSE. Kami mencurigai kuasa pengguna anggaran yang menggeser belanja negara, ” ujar Ketua Rakyat Antikorupsi (RAKO) Harianto Nanga.
Ironis menurut dia, proyek RTH sebenarnya produk Negara karena sudah dibahas bersama DPRD Sulut. Adapun Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah Steve Kepel yang dimasa itu mejabat Kepala Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman dan Pertanahan Daerah.
“Semudah itukah mata anggaran yang sudah dilembar daerahkan dihilang. Padahal proses tender sudah berjalan dan ada pemenangnya tendernya, ” singgung Harianto.
Menurut dia, korupsi dimulai dengan tindakan menggeser belanja Negara. Dalam kasus ini RAKO, mencium ada upaya pemufakatan jahat dan korupsi berjemaah.
“Awal kekacauan ini ketika menggeser belanja Negara ke pos yang tidak dibahas, ini permulaan korupsi berjemaah. "Jelaskan uang Negara sebesar Rp.15 miliar hanya terserap Rp. 4 miliar di urusan eksterior KONI yang tidak dibahas di DPRD Sulut. Kemana yang Rp.11 miliar itu ? , ” ungkap Harianto.
Ia mengatakan dalam kasus ini DPRD Sulut dan BPK RI serta BPKP termasuk Inspektorat harus bertanggung jawab.
“Kan tidak mungkin DPRD dan BPK serta BPKP tidak tahu. Masa tidak ada temuan. Ada apa? Jangan-jangan mereka dilarang speak up, ” ujar Harianto.
Pihaknya berjanji akan membawa kasus ini ke Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, karena ada sinyalemen kasus ini diintervensi kekuasaan untuk melindungi kelompok yang menggarong uang Negara.
“Kami akan dumas ke Wapres Maruf Amin, ” pungkas Harianto.
(Arthur Mumu Tn Kim)