Polri Presisi Dan Tantangan Kepemimpinan 2021-2024

 


BANDUNG BARAT || elitKITA.com ||


Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membangun kepemimpinan 2021-2024 dengan tagline transformasi POLRI PRESISI yang merupakan abreviasi dari PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan. Konsep ini merupakan fase lebih lanjut dari POLRI PROMOTER (PROfesional, MOdern, dan TERpercaya) yang telah digunakan pada periode sebelumnya, dengan pendekatan pemolisian berorientasi masalah (problem oriented policing).

 

Dalam kepemimpinan POLRI PRESISI, ditekankan pentingnya kemampuan pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing) agar Polri mampu menakar tingkat gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melalui analisa berdasarkan pengetahuan, data, dan metode yang tepat sehingga dapat dicegah sedini mungkin.

 

Berikut 8 (delapan) poin penting konsep Polri Presisi. # Menjadikan Polri sebagai institusi yang Prediktif, Responsibilitas, Transparan Berkeadilan.Menjalin keamanan untuk program pembangunan nasional. Menjaga solidaritas internal. Meningkatkan sinergitas dan solidaritas TNI-Polri, serta bekerja sama dengan APH dan kementerian/lembaga untuk mendukung dan mengawasi program pemerintah. Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreativitas yang mendorong kemajuan Indonesia. Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan. Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restoratif dan problem solving. Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinekaan.

 

Kata responsibilitas dan transparansi berkeadilan menyertai pendekatan pemolisian prediktif yang ditekankan agar setiap insan Bhayangkara mampu melaksanakan tugas Polri secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan. Untuk membawa laju perubahan ini, kepemimpinan Polri memerlukan penerapan manajemen transformasi atau perubahan sebagai pilihan institusi untuk mempersiapkan, melengkapi dan mendukung kebutuhan institusi dalam menjawab berkembangnya tantangan dan peluang.

 

Proses transformasi tersebut, mutlak harus terinternalisasi pada setiap insan Bhayangkara yang akan menentukan berhasilnya organisasi Polri melewati fase transisi dari kondisi saat ini menuju kondisi baru PRESISI melalui pemolisian yang terukur dalam memecahkan masalah sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Kebutuhan atas transformasi memiliki urgensi tersendiri survei dan persepsi masyarakat dalam tiga tahun terakhir menunjukkan perlunya implementasi reformasi kultural.


 

Survei LSI, Litbang Kompas, Alvara Research dan Indonesia Indicator menunjukkan adanya stagnasi dan bahkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat sebagai akibat meningkatnya permasalahan publik secara drastis. Kondisi ini menciptakan rasio beban dan jumlah anggota polisi semakin tidak ideal, sehingga mendorong munculnya tindakan kekerasan dan penyalahgunaan kewenangan polisi dalam pelaksanaan tugas. Hal ini dikuatkan berbagai pengaduan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait adanya praktik pemolisian dalam penanganan harkamtibmas yang masih menampilkan kekerasan dan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan tugas.

 

Permasalahan praktik pemolisian sebenarnya tidak hanya menggejala di Indonesia. Badan-badan kepolisian di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara maju seperti AS, Inggris, Australia, dan lain-lain, telah sejak lama menghadapi permasalahan akut berkaitan dengan tindak kekerasan, penyalahgunaan wewenang, penerimaan uang suap, dan lain-lain perilaku negatif yang dilakukan petugas kepolisian, baik mereka yang bertugas di lapangan (street cop) maupun jajaran pimpinan (management cop).

 

Berbagai permasalahan ini menyebabkan lembaga kepolisian menghadapi krisis legitimasi, yakni tentang peran dan fungsi yang seharusnya ia lakukan dalam masyarakat (Juntunen dan Käyhkö, 2008). Optimisme meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri sebenarnya tetap besar, terlihat dari survei Markplus Inc. tahun 2021, menunjukkan bahwa terjadi disinformasi antara penanganan pemolisian terhadap persepsi masyarakat yang diperoleh dari media dan media sosial. Untuk itu, diperlukan transformasi kultural yang mengarah pada transparansi dalam komunikasi publik.

 

Artinya, perkembangan kepercayaan masyarakat terhadap publik saat ini benar-benar mengalami disrupsi informasi. Sebab sebelumnya, survei The Gallup (2018) menunjukkan bahwa capaian penegakan hukum yang dilakukan Polri diakui masyarakat mampu menekan angka kejahatan dan gangguan masyarakat. Survei dunia itu menegaskan bahwa perasaan aman masyarakat dari gangguan kejahatan di Indonesia menduduki peringkat ke-9 dari 142 negara. Segenap tantangan dan peluang tersebut mendorong kepemimpinan Polri 2021-2024 membangun kerangka transformasi melalui transformasi organisasi, transformasi operasional, transformasi pelayanan publik, dan transformasi pengawasan. Pendekatan pemolisian prediktif dipilih sebagai upaya mengikuti perkembangan pemolisian di berbagai negara maju yang dilatarbelakangi dua faktor penentu. Pertama, perkembangan pesat teknologi informasi (TI) dan pemanfaatannya secara masif.


Hal ini mendorong kemajuan pesat berbagai bidang kehidupan, yang ditandai dengan saling terkoneksi, serba cepat dan mudah dijangkau. Kedua, implikasi lanjutan dari perubahan tersebut memberi konsekuensi dunia menghadapi gejolak, ketidakpastian, kompleksitas dan keambiguan atau secara universal dikenal dengan istilah VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity). Kedua faktor kondisi tersebut mendorong Polri mulai mengadopsi pendekatan pemolisian prediktif, sebagai upaya untuk menjawab perkembangan teknologi dan kondisi VUCA yang menghinggapi berbagai tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. (berbagai Sumber, Red)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama