Ironi Kebijakan Pajak Rakyat VS Perusahaan


OPINI PUBLIK

Dalam dunia ini, tidak ada yang pasti selain kematian dan pajak. (Negarawan AS Benjamin Franklin, tahun 1789).


Terkuaknya kasus Mega korupsi tata niaga di PT. Timah Tbk (TINS), oleh Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian negara fantastis Rp. 217 triliun, masih bertambah daftar panjang dengan muncul kasus pengemplangan pajak yang membuat negara kehilangan potensi penerimaan hingga Rp. 300 triliun. "Wow".


Prabowo Subianto Presiden Terpilih, akan mengejar potensi penerimaan negara yang hilang dan sudah memegang daftar 300 pengusaha 'nakal' tersebut yang diduga bergerak di sektor sawit. Menurut Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo (CNBC Indonesia, 12-10-2024).


Pajak di sistem kapitalisme yang sedang diterapkan saat ini, layaknya drakula yang menghisap darah rakyatnya hingga tetes darah terakhir. Secara teori ekonomi kapitalis, pajak memiliki fungsi regulasi. Namun, pada fakta sebenarnya pajak berfungsi sebagai alat eksploitasi untuk kepentingan para kapitalis dan birokrat. Di negara - negara kapitalis, pajak merupakan pilar utama penerimaan negara terutama Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).


Kasus pengemplangan pajak ini, merupakan akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan saat ini menjadi perhatian khusus. Hal tersebut, menunjukkan bahwa negara tidak tegas menindak pengusaha yang tidak membayar pajak.  


Hal ini juga menjadi bukti, bahwa negara memberikan perlakuan khusus pada pengusaha. Daftar kebijakan negara pun bertambah dengan kecenderungannya terhadap para pengusaha dengan sikapnya yang lunak, perusahaan diberi kemudahan dengan berbagai program keringanan pajak seperti tax holiday (insentif pemerintah berupa pengurangan atau penghapusan pajak untuk sementara waktu), tax amnesty (penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan), dll.


Berbeda sekali dengan kebijakan pajak atas rakyat, di mana rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak yang terus mengalami kenaikan. Yang teranyar, mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) pada 2025 akan diterapkan oleh pemerintah dengan kenaikan tarif dari 2,2% menjadi 2,4%. Jika melanggar kewajiban pajak, rakyat akan diberi sanksi tegas. Rakyat dijejali slogan orang bijak taat bayar pajak, sedangkan pengusaha justru diringankan bahkan dibebaskan dari pajak. "Miris".


Perbedaan penerapan kebijakan pajak antara perusahaan dan individu ini, terlepas dari pandangan atas hukum pajak. Jelas, sewenang-wenang dan menzalimi rakyat. Yang kemudian akan berdampak pada penundaan pembangunan dibutuhkan rakyat, seperti penyediaan fasilitas kesehatan, pendidikan, dll yang seharusnya menjadi kewajiban negara untuk segera memenuhinya, tapi hak rakyat jadi terabaikan dan hidup rakyat makin sengsara.


Akar penyebabnya, karena negara ini menerapkan sistem kapitalisme yang menggantungkan sumber pembiayaan pembangunan negara pada pajak.


Berbeda dengan sistem Islam yang pernah berjaya selama 14 abad, membiayai pembangunan dengan pemasukan negara dari berbagai sumber yang telah ditetapkan dalam sistem ekonomi Islam. Pajak hanya dipungut dalam kondisi khusus/insidental, ketika ada kebutuhan pokok umat dan sangat mendesak. Namun, pajak hanya diambil pada orang muslim yang kaya, yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang makruf. Semisal ketika terjadi paceklik, kekeringan, bencana alam, dll, pendapatan tetap baitulmal tidak mencukupi pembiayaan wajib. Maka, negara mewajibkan kaum muslim membayar pajak hanya untuk menutupi kekurangan tersebut tanpa berlebih. Setelah kebutuhannya tercukupi, pemungutan pajak dihentikan. Namun, pemungutan pajak ini jarang dilakukan karena secara umum baitulmal mampu mencukupi kebutuhan rakyat.


Adapun sumber pemasukan negara dalam sistem Islam, yaitu bagian fa'i dan kharaj (ganimah, kharaj, status tanah jizyah, fa'i, pajak/dharibah), bagian kepemilikan umum (migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, Padang rumput dan aset yang diproteksi), bagian zakat.


Sumber pemasukan negara yang banyak tersebut, akan sangat mencukupi pembangunan infrastruktur dan fasilitas yang dibutuhkan rakyat tanpa rakyat dipungut pajak.


Negara akan mengelola sumber daya alam yang berkategori kepemilikan umum secara optimal, sehingga hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan sumber daya alam kepada swasta dan asing, semisal hutan, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pengusaha untuk dijadikan perkebunan sawit lalu negara mengharapkan penerimaan pajak darinya. Kerusakan hutan dan ekosistemnya akan terjadi, jika hutan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit secara besar-besaran.


Rasulullah saw., bersabda "Umat manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, Padang gembalaan dan api." (HR Ibn Majah)


Negara mengelola hutan sesuai syariat yang akan memberikan manfaat ekonomi lebih besar daripada penerimaan pajak, rakyat bahkan akan sejahtera hidupnya.


Dengan mekanisme Islam, negara bisa bersikap adil dan tidak menzalimi rakyat. Celah kebocoran pajak juga bisa ditutup rapat - rapat, karena pajak tidak menjadi instrumen utama dalam penerimaan negara.


Rasulullah saw., bersabda "Tidak akan masuk surga para penarik pajak/cukai." (HR Ahmad)

"Wallahualam bissawab".


Editor Lilis Suryani

Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md. Pendidik Generasi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama