OPINI PUBLIK, -
Banyaknya pekerja di negeri orang, apalagi sampai statusnya menjadi ilegal sangat miris dengan kondisi negeri ini dengan berlimpah kekayaan Sumber Daya Alam. Mencari pengharapan akan masa depan yang lebih baik tidak ditopang oleh sang penguasa, malah mereka digiring untuk mencari mimpi di negeri orang. Dengan jarak membentang panjang, hilang waktu kenbersamaan dengan orang terkasih. Sungguh menyakitkan, bukannya dirangkul tapi malah harus mengusahakan sendiri.
Kabupaten Bandung Barat (KBB), menjadi salah satu penyumbang pekerja migran Indonesia (PMI) dengan status keberangkatan ilegal terbanyak di Provinsi Jawa Barat. Tercatat kurang lebih 17 kasus PMI ilegal yang mengalami kekerasan, ditelantarkan hingga hilang kontak di luar negeri. Terdata baru 17, bisa dipastikan dibawahnya yang tidak terdata pemerintah lebih banyak. Ini, menjadi PR bagi Pemprov/Pemkab dan yang menaungi adalah Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) untuk segera ditangani.
Dalam prosesnya PMI ilegal dibawah pembinaan penyalur yang dikenal di daerahnya yang tidak terdaftar di kementrian, tata caranya tidak melewati pembuatan visa kerja, pelatihan keterampilan maupun bahasa. Jadi langsung berangkat saja, korban dengan polosnya mengikuti ajakan pihak peyalur yang tidak bertanggung jawab.
Alasan utama banyaknya PMI ilegal banyaknya karena faktor ekonomi, mudah tergiur bekerja di luar negeri lewat jalur non-resmi. Serta, rendahnya edukasi masyarakat dan terdesak keadaan salah satunya utang lewat pinjol. Dari penelusuran pelaku PMI ilegal dijanjiakan uang muka awal Rp. 5-10 juta bagi keluarga yang ditinggalkan dan fiksasi gaji jika sudah sampai disana. Hal ini, dikemukakan oleh Dewi Andani selaku Kepala Bidang Pelatihan, Produktivitas, Penempatan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (P3TKT) Disnaker KBB.
Nasib pekerja migran menyedihkan Gelar “Pahlawan Devisa”, rupanya hanya sekedar angan - angan yang jasanya tidak pernah dihargai oleh negara, terlihat sederet kasus yang sulit selesai. Dari banyaknya kasus pihak berwajib, kemudian membentuk satuan tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sesuai intruksi presiden. Di tahun 2023, bahwa Polda Jabar bisa mengungkap 37 kasus dengan 82 korban yang sudah dipulangkan dan tersangka 59 orang. Nasib korban penyelundupan memang sangat menyedihkan, karena kebutuhan hidup kurang akhirnya tergiur janji masa depan mapan. Juga, banyaknya adalah perempuan. Akhirnya menemukan, bahwa hidupnya lebih suram dari sebelumnya. Pemerintah hanya berbuat seperlunya tanpa memikirkan kejiwaan setiap individu rakyatnya setelah kejadian ini, masalah migran ini tidak pernah selesai sampai sekarang. Sementara mafia perdagangan meraup untung dari bisnis haram ini.
Dalam sistem kapitalistik, dimana pemenuhan materi menjadi standar utama dalam kehidupan sosial. Permasalahan pekerja migran tidak pernah selesai, sederet mimpi punya gaji besar, hunian nyaman, harta mentereng menjadi standar materi yang banyak. Maka, jalan yang paling cepat dan mudah adalah bekerja di negeri orang.
Di negeri sendiri dengan hamparan dan bentangan Sumber Daya Alam, semestinya tak ada anak bangsa yang terpaksa mencari kerja demi untuk memenuhi kebutuhan, gagal pemerintah tidak bisa memberi kesejahteraan. Belum lagi terhadapa pekerja migran ilegal, sungguh pelaku diperlakukan sangat rendah sebagai manusia.
Kasus penyiksaan, penganiayaan sampai kematian mengiringi sampai hanya nama ke kampung halaman. Ini sama dengan perdagangan manusia, karena mengirimkan korban tanpa identitas legal dan diakui negara. Payung hukum UU TPPO 21/27, tidak menemukan titik temu adanya efek jera bagi pelaku dan mafia. Hukuman ringan, memberi celah mereka melakukannya secara berulang. Inilah potret negeri ini.
Yang menjadi pertanyaan, bahwa Islam mampukah menjawab dan mengatasinya ?
Islam sebagai tata negara yang mengatur segala hal, termasuk tenaga kerja yang berdiri diatas akidah dan amanah dari seorang pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kebijakannya. Negara wajib memelihara dan mengatur urusan rakyat sebagaimana Rasulullah Saw., bersabda. “Seorang Imam, adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Negara akan berusaha membuka sarana - sarana pekerjaan bagi pencari kerja, terutama yang wajib adalah laki - laki dengan gaji sepadan untuk menjamin kelangsungan kehidupan keluarga. Negara menyediakan lapangan kerja yang luas, dengan gaji sepadan dan adil sama - sama saling menguntungkan. Tidak seperti sekarang, gaji dipukul rata dengan UMR. Gaji dalam Islam diberikan berdasarkan kemampuan yang dimiliki dalam kesepakatan pekerja dan perusahaan, jika ia seorang ahli ada proses negosiasi terkait gaji yang diberi, jadi posisinya setara.
Penambahan skill dilakukan secara massif dari mulai bangku sekolah dasar, hingga perguruan tinggi sehingga siap menghadapi dunia kerja, tidak akan ada tenaga kerja asing yang didatangkan ke Indonesia karena alasan TKI kurang bisa menguasai dunia kerja pada bagian tertentu. Pelatihan, dilakukan secara berkala supaya menjadi ahli di bidangnya dilakukan oleh negara.
Selanjutnya pada sistem persanksian, negara dengan tegas akan memberi hukuman pada pelaku kejahatan. Sanksi ini, akan menimbulkan efek jera agar pelaku tidak melakukannya lagi. Tidak ada penipuan, maupun jual beli aturan hukum, hukuman yang diberikan otomatis akan terhubung dengan akidah Islam. Yang dibangun, adalah ketakwaan individu, setiap perbuatan akan ada konsekuensi akhirat.
Perlu diketahui, bahwa kezaliman yang terjadi adalah negara tidak bisa meriayah rakyatnya dengan baik, tidak bisa menjamin dan melindungi ditambah konsep ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Ketika kesejahteraan itu tiba, tenanglah sudah kepala keluarga dan anak laki-laki yang menanggung mahramnya dalam mencari pekerjaan, istri tidak ada beban mencari nafkah ketika pun bekerja hanya meluaskan wawasan dan diperlukan oleh negara jika tenaga ahli. Semua menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan. Wallahu A’lam.
Editor Lilis Suryani
Oleh : Ina Agustiani S.Pd
(Praktisi Pendidikan).