elitKITA.Com-Meningkatkan kinerja seseorang dalam organisasi tidaklah mudah. Begitu juga yang terjadi dalam tubuh organisasi. Untuk melakukan perubahan diperlukan kepemimpinan yang kuat dalam kepemimpinan setidaknya harus mampu, diantaranya :
(a) Mampu mewujudkan perubahan pola pikir dan perilaku budaya penguasa menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta menegakan hukum secara jujur dan adil. (b) Menjadi pemimpin yang selalu memegang teguh dan mengaktualisasikan etika kepemimpinan dengan menampilkan diri sebagai sosok pelayan yang jujur, berani, adil, bijaksana, transparan, terbuka, tauladan, kreatif, inovatif, kooperatif dan mengutamakan kepentingan anggota serta soliditas institusi.
(c) Dapat selalu menjaga kehormatan dan harga diri dengan tidak melakukan kolusi, korupsi, nepotisme serta berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya. (d) Mampu merespon kesulitan dan membantu memecahkan masalah sosial dalam masyarakat dengan cepat merupakan perbuatan yang mulia dan luhur. (e) Tetap menjaga soliditas dan tidak terpancing dengan isue – isue yang berkembang saat ini dengan melaksankan tugas dengan baik, profesional, jujur dan adil.
Namun dalam mengimplementasikan kepemimpinan yang transformasional guna meningkatkan kualitas pelayanan publik yang profesional dihadapkan berbagai persoalan diantaranya permasalahan kurangnya ketauladan dan permasalahan yang multi kompleks yang dialami bangsa ini. Namun berbagai permasalahan tersebut akar permasalahannya tetap ada didalam bentuk kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin tersebut dalam menggerakkan negara ini.
Ada banyak definisi yang diberikan mengenai konsep kepemimpinan. Menurut Nielche Patric dalam bukunya The Codes of A Leader (Burt Nanus, Kepemimpinan Visioner, Jakarta, PT.Prenhallindo), menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas sebuah kelompok yang terorganisir untuk mencapai sebuah tujuan. Definisi lain mengenai kepemimpinan adalah suatu proses memberikan tujuan (arah yang berarti) mengumpulkan usaha, menyebabkan kemauan untuk berusaha mencurahkan segalanya demi mencapai tujuan.
Kata transformasional berasal dari dua kata dasar, ‘trans dan form.’ Trans berarti melintasi dari satu sisi ke sisi lainnya (across), atau melampaui (beyond); dan kata form berarti bentuk. Transformasional mengandung makna, perubahan bentuk yang lebih dari, atau melampaui perubahan bungkus luar saja. Transformasional sering diartikan adanya perubahan atau perpindahan bentuk yang jelas, pemakaian kata transformasional menjelaskan perubahan yang bertahap dan terarah tetapi tidak radikal.
Walaupun demikian pengertian transformasional sendiri secara konkret masih suatu wacana yang membingungkan, banyak pandangan yang berbeda dari pemakaian kata tersebut yang hanya disesuaikan dengan perspektif parsial para penggunanya.
Transformasional atau percepatan perubahan dari budaya lama ke budaya baru berupa paradigma baru Polri yang menurut Ary Ginanjar Agustian dalam pelatihan Emotional Spiritual Quoient ( E S Q ) maka harus memperhatikan 7 (tujuh) langkah, yaitu : Jujur, Tanggung jawab, Disiplin, kerjasama, Adil, Visioner, dan Peduli.
(a) Jujur, dalam melaksanakan tugasnnya maka kejujuran merupakan dasar dalam berperilaku, sebagai contoh : Polri dalam penegakkan hukum karena sebagai etalase Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat maka seorang Polantas harus bersikap jujur terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar tanpa melebihkan dan menutupi kesalahannya sehingga semuanya baik Polantas maupun pelanggar lalulintas terlindungi hukum yang sama.
(b) Bertanggung-jawab dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat sesuai dengan beban tugas yang diembannya kalau di fungsi reskrim maka harus melaksanakan proses penyelidikan, pengamanan, penggalangan sesuia dengan peraturan yang berlaku dan menjunjung tinggi etika Polri.
(c) Disiplin dalam menjalankan tuganya tidak keluar dari tupoksi yang telah digariskan bila dalam fungsi lalu lintas maka pelayanan yang diberikan harus mampu memberikan solusi atau jalan keluar bila terjadi kemacetan lalu lintas ataupun terganggu karena tidak adanya petugas yang mengatur lalu lintas dan melaksanakan penegakkan hukum bagi para pelanggar.
(d) Kerjasama, baik kerjasama internal maupun dengan lintas sektor baik dengan unsur Criminal Justice System (CJS), yang terdiri dari Kepolisian, Jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokad Pemda, maupun dengan kemitraan masyarakat dalam bingkai Polisi Sipil.
(e) Adil, kemampuan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara adil tanpa memandang status, jabatan, hubungan keluarga dan lainya, jika mereka melanggar maka harus dilakukan upaya penegakan hukum.
(f) Visioner, mampu menjabarkan visi yang ada dalam organisasi sehingga kinerjanya sesuai dengan visi dan misi pimpinan dan mampu melaksanakan pelayanan Publik sesuai yang telah digariskan baik dalam program Quick Wins (keberhasilan segera), yaitu quick respond, transparansi pelayanan SIM, STNK, BPKP; transparansi proses penyidikan; dan transparansi rekruitmen personel.
(g) Kepedulian dalam melaksanakan tugas dimanapun berada, karena tugas Polisi melekat dalam diri anggota Polri dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Jika diperlukan peran Polisi maka anggota harus mampu memberikan layanan Polisi dimanapun ia berada sehingga keberadaan Polisi bisa dirasakan dimana-mana.