OPINI PUBLIK
Pendidikan isinya, adalah belajar dari hal - hal positif setiap waktu, anak semakin cakap dalam hal teknologi, pola pikir, pola sikap, rasa sosial dan kemampuan menerjemahkan nilai - nilai keyakinan agama lebih dalam lagi. Tapi kini, tak hanya dalam hal kebaikan mereka cakap, melainkan dalam hal buruk terutama masalah perundungan. Manusia harusnya setara yang membedakan, adalah keimanan sudah terpatri dalam benaknya, kenyataannya ada manusia yang lebih tinggi dan memandang makhluk lain lemah, ada yang harus disembah ada yang harus mengalah. Itulah potret masa sekolah saat ini, sunggu miris.
Dalam sebuah event terkait dengan perundungan atau bullying yang diadakan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), mengukuhkan 340 santri dan tenaga pendidik di Ponpes Nurul Iman Kota Bandung untuk memberi pengetahuan tambahan sebagai langkah pencegahan bullying. Uum Sumiati selaku kepala DP3A, menilai butuh perhatian yang intensif terhadap upaya pencegahan, edukasi dan layanan untuk yang sudah menjadi korban kekerasan. Dan, berharap para santri cepat tanggap jika ada kejadian perundungan yang mereka saksikan atau bahkan dialaminya. Pengelolaan yang cepat ini, adalah bagian dari tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan lembaga pendidikan, khususnya UPDT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Bandung. Menunjukkan keseriusannya dalam hal peningkatan penanganan kasus kekerasan terhadap anak setahun terakhir ini, sehingga lingkungan aman bagi anak yang dicita-citakan banyak terwujud di semua tempat.
Bullying dalam Angka dan Realita
Jika meninjau fakta di lapangan kasus perundungan setiap waktu meningkat, hasil data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per September 2024 ada sekitar 293 kasus kekerasan di sekolah. Paling banyak adalah kekerasan seksual 42%, perundungan 31%, kekerasan fisik 10%, psikis 11 % dan kebijakan mengandung kekerasan sebanyak 6%. Korban terbanyak, adalah perempuan sebanyak 78%, menyusul laki - laki 22%. Ini yang terlapor dan masuk data, belum yang tidak terlapor pasti lebih banyak lagi.
Sempat ada wacana dari Menteri Pendidikan dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti, akan menambah kuota guru bimbingan konseling atau BK di tiap sekolah. Dengan harapan bisa menekana angka perundungan dengan cepat, karena ditangani oleh ahlinya. Kemudian mengadakan pelatihan untuk semua guru bidang studi berkaitan dengan high value education.
Kita perlu menelusuri lebih jauh, mengapa generasi ini sangat suka dengan perundungan, tentu dengan sistem kapitalis saat yang serba bebas mengakses informasi dengan nilai degrasi moral rendah serta pemahaman agama yang ditanamkan dari rumah kurang, akan menumbuhsuburkan perilaku negatif ini.
Faktor Penyebab- penyebabnya berawal dari keluarga, sebagai akar penopang individu. Keluarga broken home atau bersama, tetapi sering menunjukkan cek-cok menjadi stimulus anak mencari perhatian di luar. Lalu manajemen dan pengawasan sekolah minim, yang fokus hanya pada nilai akademik, tanpa dilihat ada nilai lain yang lebih penting yaitu agama, adab dan akhlak. Kemudian, media yang negara tidak bisa memfilternya. Sehingga tontonan konten berbau porno, kekerasan, game online tidak berfaedah bisa diakses dengan mudah. Otak anak bisa berfantasi untuk berbuat sesuatu dari yang dilihatnya, contohnya merundung.
Adanya Permendikbud 46/2023 aturan mengatasi perundungan tak pernah terealisasi dengan baik, bahkan kurang booming di kalangan pendidik. Jadilah pelaku punya standar benar terhadap perilakunya, budaya yang ditanamkan oleh sistem sekuler yang serba bebas dan individualis menjadikan abai jika ada orang yang menasehatinya. Hukum untuk membut jera pelaku juga tak benar menyentuh akarnya, jadilah peristiwa rundung tak pernah selesai.
Solusi - solusi deklarasi tak cukup untuk menghentikannya. Apalagi di dunia pesantren, jauh dari orang tua jika ada siswa yang merasa “bossy”, mondok tak membuatnya menjadi faqih fiddin, jadilah perundungan kecil lama - lama besar menjadi kasus kejahatan bahkan fisik sampai menghilangkan nyawa. " Naudzubillah".
Solusi Islam
Islam punya mekanisme tersendiri, bagaimana melihat generasi cemerlang dihasilkan tidak instan tetapi melalui proses perjuangan yang senantiasa berkesinambungan serta sikap konsisten yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Negara memfasilitasinya, dijalankan sebaik-baiknya dengan penuh kecintaan pada Allah SWT., dan sikap amanah. Karena, pertanggungjawabannya ada di akhirat kelak.
Ada beberapa faktor untuk mengatasi perundungan, yaitu Islam selalu mengajarkan umatnya untuk berbuat baik pada sesama sebagaimana Rasulullah melakukannya. Dengan melihat role model ini, maka individu manusia akan mudah mengelola emosinya sehingga jauh dari perbuatan yang akan mencelakai orang lain.
Selanjutnya, adalah keluarga yang dibangun diatas sakinah, mawaddah dan warahmah akan berdiri penuh cinta, kehangatan dari anggota keluarga. Ibu sebagai madrasah pertama bagi anak, ayah pemimpin keluarga menjadi teladan baik, akan membuat anak punya sifat lemah lembut dan penuh kasih sayang. "Inilah gambaran rumah dengan predikat baiti jannati".
Negara akan menciptakan sistem pendidikan berpusat pada akidah Islam yang menjadi landasannya, penentu kesuksesan ini dijalankan oleh guru dengan pemikiran dan sikap yang landasannya Islam juga. Sehingga akan lahir siswa dengan keluhuran akhlak dan kebaikan yang mendominasi dirinya, jiwa tolong menolong, mengasihi sesama. Maka, terpikir untuk merundung mungkin tidak. Pendidikan seimbang antara dunia dengan akademiknya dan akhirat dengan akidah kuat, dengan Islam upaya untuk mewujudkan ketakwaan mayoritas akan tercipta dengan mudah di masyarakat. Jika pun ada orang yang melakukan perundungan, negara akan memberi sanksi tegas dan keras. Baik di dunia nyata ataupun sosial media, jika ada yang menyebarkan via dunia maya. Asalkan siswa tetapi jika sudah dinyatakan baligh berapapun usianya akan ditindak tegas, tidak seperti sekarang seseorang dibawah usia 18 tahun masih dianggap anak, tentunya menimbulkan interfretasi yang rumit dalam penyelesaian masalah dalam penentuan hukuman. Hanya dengan Islam cita - cita zero bullying, akan mudah direalisasikan dengan mudah. Wallahu a’lam.
Editor Lilis Suryani
Ina Agustiani S.Pd
(Praktisi Pendidikan)