OPINI PUBLIK
Seorang penyair ternama Hafiz Ibrahim mengungkapkan sebagai berikut ; "Al-Ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq". Artinya : Ibu, adalah madrasah (Sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.
Dikutip dari Timesjabar.com. Jelang peringatan Hari Ibu (PHI) ke-96, bahwa Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) DPC Kota Tasikmalaya sukses menggelar acara bertajuk "Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2024".
Acara inspiratif IWAPI tersebut, berlangsung di Hotel Ramayana dengan mengusung tema besar yang dapat menggugah semangat para perempuan untuk tetap produktif dan bermakna di setiap tahapan usia Rabu, 18/12/2024 lalu.
Dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk anggota IWAPI, pengusaha perempuan serta perwakilan organisasi perempuan lainnya. Kegiatan ini, menjadi ajang refleksi sekaligus inspirasi. Acara semakin semarak, adanya talkshow interaktif bersama psikolog ternama Dewi Rahyani Soesanto.
Dalam sesi talkshow, tutur Dewi Rahyani memberikan paparan menarik tentang bagaimana perempuan dapat terus berkarya, meski usia terus bertambah.
“Setiap tahap usia memiliki peluang untuk berkontribusi, terpenting adalah mengenali potensi diri, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi serta terus belajar, ” jelas Dewi.
Peringatan hari ibu, dari tahun ke tahun, hanya seremonial belaka. Hingga hari ini, para ibu belum menempati posisi terbaik. Para ibu saat ini, banyak yang menjadi korban kerusakan sistem. Alih - alih memberdayakan para ibu, agar produktif, faktanya justru para ibu terjerumus pada kubangan kapitalisme, sehingga harus meninggalkan hak dan kewajiban sebagai seorang ibu. Ketika lapangan pekerjaan lebih dibuka lebar untuk para ibu dan sempit untuk para bapak, akhirnya para ibu "berlomba meninggalkan rumah demi karir".
Dengan adanya peringatan hari ibu, dianggap seolah memuliakan atau membahagiakan ibu. Namun sayangnya, lagi - lagi ini hanya rutinitas tahunan saja. Hari ini, banyak para ibu, justru tidak menempati posisi mulia dan bahagia, sebagaimana yang digadang-gadangkan sistem saat ini. Bukan hanya memaksa mereka harus bekerja, lebih dari itu, keberadaannya tak begitu dihargai. Banyak kasus pelecehan seksual, penyiksaan, diskriminasi, dianggap lemah sehingga semena-mena memperlakukan mereka, bahkan banyak lagi kasus - kasus yang justru jauh dari kata memuliakan.
Semua itu terjadi, hakikatnya karena manusia tidak paham bagaimana memuliakan atau membahagiakan ibu, tidak paham Islam yang notabene agama mereka, tetapi mereka tidak kenal dengan aturan dari agamanya sendiri. Terlebih didorong oleh sistem yang mendukung, memuliaan dan membahagiakan terhadap ibu hanya sekadarnya saja. Hanya sebatas ritual tahunan yang mana mereka sudah menganggap memuliakan ibu, sementara hakikatnya mereka tidak tahu. Bahkan dengan sendirinya, ibu tak lagi bernilai di hadapan khalayak mau pun dalam keluarga.
Sungguh miris, dalam sistem kapitalis, standar keberhasilan perempuan menjadi hebat, ketika mereka mengeksplor diri di luar rumah dan menghasilkan pundi - pundi rupiah. Padahal para ibu tidak merasa bahagia juga, betapa tragis nasib perempuan dalam genggaman sistem rusak ini. Pemberdayaan yang keliru, karena keluar dari fitrahnya ia sebagai perempuan. Padahal sejatinya fisik perempuan tak setangguh lelaki, namun dalam sistem ini perempuan dipaksa tangguh dengan keadaan.
Islam memposisikan perempuan sesuai porsinya, diberdayakan tanpa merampas haknya. Betapa mulianya perempuan dalam Islam, hingga berbakti pun, Rasulullah Saw., memerintahkan kepada ibu terlebih dahulu hingga tiga kali, baru setelah itu kepada ayah.
Dari Abu Hurairah r.a yang mengutip sabda Rasulullah Saw.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Artinya : "Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali ? ' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu ! ' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'kemudian siapa lagi ? ' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu ! ' orang tersebut bertanya kembali, 'kemudian siapa lagi ? ' beliau menjawab, 'Ibumu.' orang tersebut bertanya kembali, 'kemudian siapa lagi. ' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'kemudian ayahmu.'" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Masya Allah, bahwa Islam adalah agama sempurna, betapa indah dan membahagiakan hukum di dalam Islam mengenai perempuan.
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi berpendapat, hadits di atas menunjukkan kecintaan dan kasih sayang kepada seorang ibu harus 3 kali lipat dibandingkan pada seorang ayah. Sebab, seorang ibu harus melewati banyak kesulitan selama mengandung sang anak. "Kesulitan di masa kehamilan, ketika melahirkan serta kesulitan saat menyusui dan merawat anaknya. Hal itu hanya dialami seorang ibu, tidak seorang ayah," tulis Imam Al-Qurthubi yang diterjemahkan Nurul Asmayani dalam buku Perempuan bertanya, fikih menjawab.
Dalam hadits yang lain, bahwa Rasulullah Saw., bersabda :
Artinya: "Sesungguhnya Allah berwasiat tiga kali kepada kalian untuk berbuat baik kepada ibu kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada ayah kalian, sesungguhnya Allah berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik kepada kerabat yang paling dekat kemudian yang dekat." (HR Ibnu Majah)
Artinya, betapa seorang ibu, di dalam Islam begitu dimuliakan. Selain bakti seorang anak utama kepada ibu terlebih dahulu, ibu juga merupakan "Mashna" atau pabrik dari para pemimpin adalah ibu. Ibu juga merupakan Ummu ajyal atau ibu generasi yang akan menjadi pendidik pertama di dalam rumah untuk anak-anaknya, "Wallaahu a'lam bishawab".
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Sumiati
Pendidik Generasi
Mahasiswi PAI