Ina Agustiani, S.Pd
(Penikmat Literasi)
Opini
Rasulullah Saw., bersabda, “siapa saja yang berutang, lalu berniat tidak mau melunasinya. Maka, ia akan bertemu Allah (pada Hari Kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR Ibnu Majah). Tentu ini untuk individu, bagaimana jika yang melakukannya dalam level negara ?, semoga para pembuat kebijakan menemukan solusi tanpa menzalimi rakyat.
Ekspresi kekagetan Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat terpilih, mengetahui bahwa utang dari pemerintahan sebelumnya berjumlah Rp. 3,4 triliun dan harus dilunasi dalam jangka lima tahun sampai akhir masa kepemimpinannya, dengan cicilan Rp. 500 miliar per tahunnya. Dalam sebuah rapat, ia bertanya berapa jumlah utang dan sampai kapan, begitu dijawab sampai 2029, sontak Dedi bergumam “saya ga pinjem duit, tapi ujug - ujug (punya utang), tapi ga apa - apa karena uangnya untuk pembangunan”.
Utang ini asalnya dari Program Pemulihan Ekonomi (PEN) peruntukannya untuk proyek infrastruktur, termasuk di dalamnya pembangunan Masjid Al Jabbar dan kebutuhan pemulihan paska pandemi covid, jalan, pengairan, air limbah, pemukiman, ruang terbuka hijau (RTH), revitalisasi pasar dan banyak lagi.
Dedi optimis mampu melunasi utang itu dan bersinergi kepada seluruh pegawai untuk tidak terbebani utang dan bisa fokus pada peningkatan pendapatan daerah serta pembangunannya, diharapkan pengelolaan keuangan yang baik, pemprov mampu mengatasinya.
Anggapan Utang Itu Lumrah
Sebetulnya apa yang dialami Gubernur Dedi, merupakan sesuatu yang niscaya selalu terjadi di kala pergantian kepemimpinan. Dalam sistem kapitalis dengan kontrak kepemimpinan 5 tahun baik itu Presiden maupun Gubernur ataupun Bupati dipandang sebagai sebuah keadilan demokrasi, paling lama menjabat maksimal dua periode. Tetapi yang perlu dilihat, adalah warisan utang dari pemimpin sebelumnya dan kewajaran bahwa sebuah negara mempunyai utang adalah sebuah hal yang lumrah terjadi. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia per Desember 2023, utangnya sebesar Rp. 8.144,65 triliun dan masih dianggap kewajaran demi rencana pembangunan.
Padahal yang kita tahu kondisi ini sangat memprihatinkan bagi generasi berkelanjutan, beban masa depan dengan cara apa kita membayar ?, kalau bukan menjual SDA yang ada dengan kebijakan yang pro kapitalis, akhirnya kemiskinan akan terus menjadi teman hidup rakyat kelas menengah ke bawah yang paling banyak di negeri ini.
Dalam politik ekonomi kapitalis juga utang dianggap sebagai bentuk konsekuensi belanja negara yang ekspansif, digunakan untuk pembiayaan secara umum (kegiatan atau proyek tertentu). Pembangunan yang sangat jor-joran serta banyaknya proyek yang dinilai bentuk pemborosan menjadikan APBN dibuat defisir. Hasilnya pemerintah pontang-panting mengejar target pertumbuhan ekonomi dengan massif dari berbagai sektor, kemudian mengambil solusi utang sebagai jalan utama.
Bisa dipastikan percepatan pembangunan yang diawali dengan investasi dalam bentuk utang tidak efisien alias gagal dan tidak bisa membuat rakyat sejahtera, masyarakat bahkan tidak banyak menerima manfaat darinya yang ada hanya dampak ditimbulkan dengan hilangnya lahan penghidupan, kemungkinan terjadi konflik agraria, perubahan lingkungan berpotensi merusak ruang kehidupan.
Di akhir utang dan pajak, adalah komponen ekonomi yang saling berkaitan, guna menutupi utang dan menanggung adalah rakyat. Menikmati fasilitas hanya kalangan tertentu, menanggung akibat rakyat banyak. Negari ini kekurangan visi politik dalam mengelola negara baik SDM kapabel potensial maupun SDA berlimpah, tapi masih berutang banyak.
Islam Poros Arah Pembangunan
Kepemimpinan berparadigma Islam yang dasarnya, adalah menjadi pengurus dan penjaga bagi umat, bervisi akhirat dengan sikap amanah dan yakin ada penghisaban di alam akhirat. Sehingga, apa yang dilakukannya hanyalah untuk kesejahteraan rakyat yang harus dirasakan untuk semua kepala. Perilaku utang efek panjangnya akan menimbulkan kerusakan sistem, membuka pintu kezaliman dan memberi jalan luas untuk penjajahan, jadi tidak ada celah sedikitpun untuk orang yang merusaknya terlebih pemipin.
Sebagaimana Allah Swt., berfirman. “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-Araf: 56). Rasulullah Saw., juga bersabda. “Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam itu terdapat lembah dan di lembah itu terdapat sumur yang bernama Habhab. Allah, pasti akan menempatkan setiap penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran di dalamnya.” (HR Ath-Thabrani, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi).
Negara justru akan hadir sebagai garda terdepan untuk memobilisasi SDA, sehingga efeknya adalah kesejahteraan untuk semua. Semua akan bermuara kepada pos APBN, dalam mekanisme Islam pusatnya di Baitulmal.
Disebutkan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan dalam Islam (2003), ada banyak pos pemasukan APBN (baitulmal Negara Islam). Beberapa pos pendapatan diantaranya dari rampasan perang (anfal, ghanimah, fai dan khumus), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari warga negara non muslim (jizyah), pengelolaan milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur), sitaan dari harta pegawai maupun pejabat yang perolehannya dari cara haram, harta tambang, harta yang tidak ada pemiliknya, harta orang murtad. Kemudian baru pajak (kondisional, saat kas negara kosong dan hanya dipungut pada warga negara muslim laki - laki yang kaya saja) dan zakat ( pembagian tertentu pada 8 asnaf).
Dengan pemasukan sebanyak itu, kesejahteraan semakin dekat di depan mata yang terwujud per individu, semata karena dorongan iman menggunakan kekuasaan sesuai tuntunan syariat. Tidak boleh ada kemiskinan, layanan publik diutamakan, pendidikan, fasilitas umum. Bahkan, untuk membiayai infrastruktur sangat jauh dari utang sana-sini yang kita tahu akan melemahkan indefependensi sebuah negara dengan skema pembiayaan berbasis Islam semua menjadi mudah.
Terkait utang, Islam memandang bagian dari aktivitas ta’awun (tolong menolong), dalam syariatnya tidak ada tambahan bunga apapun. Saat utang jadi solusi ekonomi negara, aturannya adalah hanya jika kas baitulmal kosong dan semua kaum muslim tidak mampu mengumpulkan dana pinjaman/sukarela. Tidak ada ketundukan tawaran utang bersyarat yang akan membahayakan kedaulatan negara, melalui utang. Semua, dimaksimalkan dari pendapatan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Wallahu A’lam Wishawwab.
Editor Lilis
Oleh : Ina Agustiani S.Pd.
(Penikmat Literasi)