OPINI PUBLIK
Setelah euforia lebaran 2025 mereda, realita menghantam keras dompet rakyat. Daya beli masyarakat di berbagai daerah turun drastis, mulai dari kota - kota besar seperti Jakarta hingga pelosok daerah. Hal tersebut, seperti diungkapkan dalam berbagai laporan media.
Para pedagang mengeluhkan sepinya transaksi, sektor pariwisata lesu dan masyarakat kini lebih sibuk bertahan hidup daripada berbelanja. Turunnya daya beli masyarakat bukan tanpa sebab, naiknya harga kebutuhan pokok, maraknya PHK namun himpitan utang menjadi pemicu utama. Ada satu fenomena yang mengkhawatirkan, yakni maraknya penggunaan paylater. Berdasarkan data OJK, utang paylater masyarakat Indonesia tembus Rp. 21,98 triliun per-Februari 2025. Ini bukan angka kecil, tapi sudah jadi alarm bahaya.
Di satu sisi, paylater dianggap solusi cepat atas kebutuhan yang mendesak. Tapi di sisi lain, ia justru mendorong perilaku konsumtif. Dengan kemudahan belanja online dan mental “Bayar nanti,” masyarakat terperangkap dalam lingkaran konsumsi tanpa sadar. Kebahagiaan diukur dengan kepemilikan materi dan keinginan lebih dominan daripada kebutuhan, inilah hasil dari sistem sekuler kapitalisme yang merasuk dalam gaya hidup rakyat serba instan.
Sistem kapitalisme mengagungkan kebebasan individu tanpa kontrol spiritual, memicu budaya konsumerisme dan menjadikan utang sebagai alat pertumbuhan ekonomi. Paylater dengan segala bentuk ribawinya, menjadi bagian dari sistem ini. Ia dianggap sah, legal bahkan didorong sebagai bagian dari inklusi keuangan.
Dilihat dari Sudut Pandang Islam
Dilihat dari sudut pandang Islam, riba adalah haram. Utang berbunga bukan solusi, tapi musibah yang bisa menambah beban dunia dan akhirat. Rasulullah Saw., bersabda ; “Riba memiliki 73 pintu dan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri.” (HR. Al-Hakim).
Maka, membiarkan masyarakat terjerumus dalam sistem ribawi bukan hanya kelalaian, tapi juga kezaliman sistemik.
Islam memandang kesejahteraan rakyat bukan dari pertumbuhan angka ekonomi makro, tapi dari terpenuhinya kebutuhan individu per-individu. Dalam sistem Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok setiap rakyat, termasuk pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Lapangan kerja dibuka luas serta bantuan diberikan langsung kepada yang tidak mampu, baik melalui baitul mal maupun distribusi kekayaan yang adil.
Lebih dari itu, bahwa Islam membentuk karakter masyarakat yang bertakwa, sadar bahwa setiap transaksi akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT., standar bahagia bukan pada materi tapi pada keridoan Allah SWT., dengan cara ini. Budaya konsumerisme akan hilang dengan sendirinya, sehingga masyarakat akan hidup lebih tenang, qana’ah dan penuh keberkahan.
Sebagai Penutup
Paylater dan budaya konsumtif hanyalah dua dari sekian banyak produk rusak sistem kapitalisme, ketika kesejahteraan hanya dilihat dari sisi materi. Maka utang menjadi jalan pintas, meski menggadaikan masa depan. Hanya sistem Islam yang mampu menghentikan kerusakan ini dari akarnya, karena ia bukan hanya mengatur aspek teknis, tapi juga mengikat hati manusia pada Sang Pencipta.
Editor Lilis Suryani.
Oleh : Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)