Penulis : Yuli Yana Nurhasanah
Karena krisis makanan akibat pengepungan dan genosida yang dilakukan Israel, warga Palestina mulai memakan daging kura-kura untuk memenuhi kebutuhan protein. Mereka menganggap daging kura-kura sebagai alternatif di tengah krisis makanan yang mendera mereka, walau sebagian anak-anak tidak mau mengonsumsinya. (2025/4/19. www.cnnindonesia.com)
WFP telah memperingatkan tentang krisis kemanusiaan di Jalur Gaza yang semakin memburuk, di mana setidaknya dua juta orang dari sebagian pengungsi saat ini hidup tanpa sumber pendapatan apa pun dan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, mereka sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan.
Dan semuanya diperparah dengan penutupan perbatasan oleh Israel, yang mencegah pengiriman ke Jalur Gaza, di mana Gaza sangat membutuhkan pasokan pangan yang tidak terputus untuk mengatasi kekurangan akut demi menopang kehidupan mereka. Jumlah korban tewas terus meningkat karena Israel terus-menerus melakukan penyerangan, bahkan di kamp pengungsian yang disebut zona aman di al-Mawasi dekat Khan Younis. (2025/4/20. www.metrotvnews.com)
Seorang jurnalis foto, Fatima Hassouna, yang pernah viral karena menulis pesan menyentuh sebagai bentuk dukungan untuk Gaza, tewas pekan ini dalam serangan brutal Israel bersama tujuh anggota keluarganya di kediaman mereka di Jalan Al Nafaq, kota Gaza.
Militer Israel, menyerang secara brutal objek dan warga sipil di Gaza, mereka berdalih melindungi warga sipil saat menyerang Hamas, namun nyatanya mereka menyerang warga sipil tanpa pandang bulu. (2025/4/19. www.cnnindonesia.com)
Penderitaan kaum Muslim di Gaza tak juga berakhir. Sementara penjajah Zionis justru semakin brutal. Bahkan, gencatan senjata di wilayah Gaza yang resmi berlaku pada bulan Januari lalu tak diindahkan oleh mereka; penyerangan terus berlanjut, memborbardir pemukiman penduduk, bangunan masjid, dan fasilitas kesehatan pun tak luput dari serangan brutal Zionis. Korban dari kalangan sipil terus berlanjut tanpa pandang bulu; bahkan perempuan dan anak-anak pun turut jadi korban kebengisan mereka.
Sungguh miris, serangan dilakukan bukan hanya oleh kalangan tentara, tetapi juga oleh para pemukim ilegal Yahudi yang bersenjata. Di berbagai titik wilayah Tepi Barat, mereka disebut-sebut tengah berusaha membangun pos-pos baru. Penyerangan tersebut menambah dafta panjang korban kejahatan Zionis, sejak Oktober 2023 awal okupasi Gaza.
Fakta di atas sejatinya mengonfirmasi keraguan banyak pihak soal komitmen Zionis atas kesepakatan gencatan senjata. Selama ini, Zionis Yahudi dikenal keras kepala dan sering kali ingkar janji.
Diduga opsi gencatan senjata ini diambil pihak Zionis karena terpaksa, setahun lebih agresi ke Gaza nyatanya tidak menghasilkan apa-apa, yang ada hanya kekalahan telak. Dengan adanya kesepakatan gencatan senjata, mereka butuh nafas baru.
Nyatanya, aturan-aturan internasional tidak membuat entitas Zionis terikat, mereka tidak peduli dengan pandangan dunia, termasuk para sekutunya. Untuk mereka, hubungan dengan Islam hanya perang dan pemberangusan.
Sama halnya dengan jiwa dan pikiran muslim Palestina, paradigma ini tertanam dalam jiwa dan pikiran mereka. Bahwa hubungan umat Islam dan Zionis adalah perang semesta dan tidak ada kata damai; bedanya, umat Islam berperang karena didorong oleh keimanan, bukan keserakahan.
Konteksnya, umat Islam Palestina menjaga tanah warisan leluhur dari para perampas, di mana di tanah Palestina terdapat kiblat pertama umat Islam dan menjadi tempat Nabi-Nya yang mulia diisrakan ke Sidratulmuntaha. Semua itu yang memacu semangat jihad rakyat Palestina yang tersisa, semangat itu senantiasa hidup dalam diri mereka.
Yang membuat mereka bertahan adalah, karena kesadaran akan ideologis dan haram bagi mereka bertekuk lutut terhadap musuh agama dan umat Islam, bukan hanya karena dorongan naluri untuk mempertahankan diri dan apa yang mereka miliki. Bukan perkara mudah untuk bertahan dengan semangat jihad, apalagi di tengah kondisi umat Islam yang terpecah belah, terkotak-kotak oleh nasionalisme.
Faktanya, para penguasa Muslim tidak benar-benar peduli dengan penderitaan rakyat Palestina; mereka hanya peduli dengan kepentingan bangsanya sendiri.
Tidak heran semua itu membuat Zionis jemawa di hadapan umat Islam seluruh dunia. Ketika ribuan warga Muslim di Gaza, Palestina, terbunuh dan jutaan lainnya terusir dari kampung halaman mereka, para penguasa Islam sibuk beretorika hanya dengan ucapan do'a dan donasi, tanpa aksi nyata.
Para penguasa Muslim hanya mencukupkan diri dengan kecaman tanpa aksi nyata, meskipun umat Islam internasional menyerukan jihad sebagai solusi. Saat ini, para penguasa muslim seakan telah kehilangan muruahnya. Dengan semua fakta inilah, menjadi bahan renungan kita semua.
Diperlukan kepemimpinan politik adidaya untuk menjaga dan mengurus rakyatnya. Kepemimpinan ini harus mampu menyatukan miliaran umat Islam di berbagai penjuru dunia yang berasaskan akidah dan syariat.
Akan tetapi, kabar pemersatu umat dalam wadah khilafah ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi negara-negara penjajah, yang selalu berusaha menjegalnya. Khilafah bagi mereka bagaikan mimpi buruk, karena mereka merasa terancam oleh hegemoni tersebut. Oleh karena itu, segala daya upaya dilakukan untuk menghalangi penegakannya.
Selama umat masih terikat pada nasionalisme warisan penjajah, mereka tidak akan pernah benar-benar bersatu, dan jihad pun tidak akan digerakkan. Oleh karena itu, nasionalisme harus segera ditinggalkan umat Islam, dan menyadarkan umat tentang hakikat Islam sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Umat juga harus dipahamkan bahwa seluruh krisis, problematik, dan konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di dunia Islam, adalah akibat dari diterapkannya ideologi yang salah, yaitu ideologi kapitalisme yang diterapkan oleh negara Barat, Amerika, dan para sekutunya.
Mereka menciptakan krisis berkepanjangan di negeri Islam di seluruh dunia, memecah belah persatuan umat Islam sehingga Islam menjadi lemah, merebut kekayaan, dan mengobrak-abrik kedaulatan negeri-negeri Islam hingga tercerai-berai.
Awal mula institusi penerapan hukum Islam tumbang, juga pemersatu umat, yaitu runtuhnya institusi politik Khilafah pada 28 Rajab 1342 H (3 Maret 1924 M). Padahal sejarah mencatat 13 abad masa kejayaan kepemimpinan Khilafah, Islam berhasil meraih puncak kejayaan sebagai negara pertama dan adidaya.
Umat harus menyadari bahwa penjajahan hanya bisa dihentikan dengan persatuan umat dalam satu kepemimpinan global, yaitu Khilafah (perisai).
Khilafah dan jihad bukanlah sekedar simbol masa lalu, keduanya kebutuhan strategis dan syar'i, keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya karena jihad dan khilafah adalah satu kesatuan. Tanpa khilafah, jihad akan mudah dilemahkan oleh politik internasional karena hanya akan menjadi perlawanan parsial. Dengan adanya khilafah, jihad menjadi kekuatan resmi yang memiliki logistik, legalitas, dan legitimasi global.
Saat ini, tidak hanya cukup empati dan aksi-aksi simbolik; sudah saatnya umat Islam menyatukan langkah dalam satu wadah khilafah. Demi rakyat Palestina, demi umat kita, kita butuh jihad yang terorganisir di bawah panji Islam,perjuangan ini harus menjadi milik kita semua umat Islam di seluruh dunia. Wallahualam bishawab
Penulis : Yuli Yana Nurhasanah