Oleh : Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka)
Kehadiran Sekolah Rakyat (SR) yang digagas oleh Kementerian Sosial (Kemensos) telah menuai berbagai tanggapan. Sebagian pihak ada yang khawatir kalau program ini dapat mengganggu sistem pendidikan yang telah berjalan.
Menurut Ketua Tim Formatur Sekolah Rakyat, M. Nuh, beliau menegaskan bahwa inisiatif ini bukan untuk menggantikan sekolah yang ada, akan tetapi untuk melengkapi dan memperluas akses pendidikan bagi anak-anak yang belum bersekolah.
"Sekolah Rakyat hadir untuk melengkapi, bukan meniadakan sekolah yang sudah ada. Fokus kita adalah memastikan bahwa setiap anak mendapatkan haknya untuk belajar," jelas M. Nuh sebagaimana dikutip dari laman resmi Komdigi, Kamis 3 April 2025.
Sekolah Rakyat (SR) adalah program pemerintah untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendidikan. Program ini rencananya bakal berjenjang dari tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah Rakyat direncanakan berbentuk asrama atau boarding school.
Kurikulum yang diterapkan juga akan mengadopsi kurikulum nasional dengan penambahan materi khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan lingkungan mereka. Kurikulum ini bakal diatur oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen).
SR gratis rencananya akan segera diimplementasikan di 100 lokasi di Indonesia sepanjang tahun 2025. Dalam publikasinya, pembangunan SR sebanyak 40 sekolah telah siap pada awal tahun 2025, tinggal menunggu terbitnya Instruksi Presiden (Inpres).
Setiap unit sekolah ditaksir menghabiskan anggaran Rp100 miliar. Artinya, total sekitar Rp10 triliun. Besaran dana yang tidak main-main di tengah negara melakukan efisiensi anggaran.
Belum lagi, kebutuhan guru pendidik sekitar 60.000 orang. Seperti apa mekanisme rekrutmennya masih dalam pembahasan. Tim Formatur baru dibuat di saat Inpres belum ada (dijanjikan akan segera terbit) dan sumber anggaran pendanaan belum jelas/belum ditetapkan.
Bagaimana Nasib Generasi?
Dari sekian problematika SR yang dijanjikan gratis dengan sasaran anak-anak keluarga miskin, masa depan kualitas generasilah yang paling dipersoalkan.
Bagaimana dengan nasib generasi? Apakah akan lebih baik dengan SR yang gratis? Apa mungkin dalam sistem kapitalistik seperti hari ini layanan gratis bisa berkualitas? Atau malah akan menimbulkan problem baru generasi yang tidak ringan? Pasalnya, SR ini direncanakan berupa boarding school/sekolah asrama. Selain akan membutuhkan SDM yang tidak sedikit, pengelolaan asrama atau boarding ini pasti double effort.
Aspek pendidikan formalnya terkait kurikulum dan kesiapan guru, juga aspek pengasuhan dalam asrama untuk anak usia remaja membutuhkan kepribadian pendidik dan pengasuh yang baik, juga skill serta kompetensi khusus.
Selama ini, di sekolah umum negeri dan swasta—baik berbentuk boarding maupun bukan—dengan pembiayaan tidak murni gratis alias berbayar dan banyak pungutan, banyak muncul problematika pengasuhan dan pembinaan generasi.
Mulai kekerasan seksual, bulliying, pergaulan bebas, kekerasan, sampai menimbulkan kematian, dan lain-lain. Belum lagi soal kualitas akademik yang jauh dari ideal akibat keterbatasan jumlah dan kualitas kepribadian tenaga pendidik, sistem penggajian upah guru, keterbatasan fasilitas pendidikan, dan lain-lain.
Sekolah umum yang ada saja sangat semrawut pelayanannya dari negara, bagaimana dengan sekolah rakyat yang gratis yang diperuntukkan bagi anak-anak keluarga miskin?
Di sistem kapitalisme hari ini, penguasa tidak memosisikan diri sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Layanan publik seperti pendidikan dipandang sebagai komoditas ceruk penambang cuan dan lahan basah korupsi.
Andai negara dan pemerintah berniat tulus meningkatkan kualitas pendidikan serta pemerataan akses pendidikan untuk semua, solusinya tentu bukan membangun sekolah baru dengan label Sekolah Rakyat gratis khusus untuk anak keluarga miskin.
Karena hal ini justru akan memunculkan kelas-kelas sosial baru, sekolah untuk warga negara yang mampu dan sekolah untuk warga miskin sehingga bisa berdampak menghancurkan mental peserta didik.
Pendidikan dalam Islam
Berbeda halnya di dalam sistem Islam, negara akan memberikan layanan pendidikan gratis berkualitas unggul untuk seluruh warga negara tanpa diskriminasi antara kaya dan miskin. Pendidikan dengan kurikulum sahih yang manusiawi yang mampu mencetak generasi berkepribadian Islam, berkarakter pemimpin-pejuang, salih dan muslih.
Semua itu, sudah disiapkan oleh Islam dengan syariatnya yang sempurna dan pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. dan para khalifah setelahnya. Negara memberikan layanan pendidikan dengan fasilitas terbaik berlandaskan pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang (Syekh Abu Yasin, Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah, hlm. 8).
Dengan demikian, Islam melahirkan generasi berkualitas dari sisi kekuatan iman dan kemampuan akademik, yakni memadukan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan dalam satu paket lengkap kurikulum berasas akidah Islam.
Kedua, seluruh pembiayaan pendidikan diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum). Seluruh pemasukan Negara, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun milkiyyah ‘amah boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan.
Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, Negara akan meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.
Ketiga, akses pendidikan gratis dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Islam tidak akan membiarkan peluang kebodohan berkembang di kalangan umat Islam hanya karena terhalang biaya pendidikan.
Oleh karena itu, negara memberikan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati.
Sebutlah Imam Syafi’i. Beliau tidak hanya ahli usul fikih, tetapi juga fakih dalam ilmu astronomi. Ada pula Ibnu Khaldun, bapak pendiri historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Beliau pun hafal Al-Qur’an sejak usia dini. Tidak hanya ekonomi, beliau juga ahli dalam ilmu politik. Ada Jabir ibn Hayyan ahli kimia, Ibn an-Nafis bapak fisiologi peredaran darah, dan masih banyak lainnya.
Ilmuwan-ilmuwan itu tidak hanya cakap dalam sains, tetapi juga berperan sebagai ulama besar. Ilmu dunia dan akhirat berpadu demi kemaslahatan hidup manusia.
Keempat, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan-penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Islam dalam Bab “Strategi Pendidikan”, hlm 176).
Itulah di antara fungsi pokok negara sebagai penyelenggara dan penanggung jawab atas pendidikan bagi seluruh rakyat. Kapitalisme menghasilkan pendidikan berkasta, sedangkan Islam mewujudkan pendidikan merata dan berkualitas di semua jenjang pendidikan. Tidak ada perbedaan fasilitas, baik di tingkat desa, kota, daerah terpencil, atau wilayah yang sulit dijangkau. Negara menyediakan infrastruktur publik yang memungkinkan seluruh rakyat dapat mengakses pendidikan dengan mudah dan nyaman.
Wallahu a'lam bishshawab.